
Opini: Dulwahab MN.
Indonesia, dengan keberagaman potensi dan tantangan di setiap wilayahnya, menghadapi paradoks pembangunan yang menganga, pertumbuhan ekonomi yang sering kali terkonsentrasi di pusat-pusat ekonomi utama, sementara banyak daerah masih bergumul dengan kemiskinan, ketimpangan, dan lambatnya laju pembangunan. Dalam konteks ini, otonomi daerah yang diberikan seharusnya menjadi peluang emas bagi setiap gubernur, bupati, dan wali kota untuk menjadi arsitek kemajuan di wilayahnya masing-masing. Namun, tanpa paradigma yang jelas dan komprehensif, kebijakan pembangunan daerah sering kali terjebak pada program yang reaktif, sektoral, dan tidak berkelanjutan. Untuk keluar dari kebuntuan ini, kepala daerah sangat urgent untuk merujuk pada pemikiran ekonomi pembangunan yang telah teruji, salah satunya adalah ajaran Profesor Soemitro Djojohadikusumo. Penerapan Trilogi Pembangunan dan filosofi Sistem Ekonomi Pancasila ala Sumitro bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menciptakan percepatan pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan kesejahteraan yang terbuka.
Trilogi Pembangunan Prof Soemitro: Pilar Utama Kebijakan Daerah
Kontribusi terbesar Prof Soemitro yang paling aplikatif adalah Trilogi Pembangunan, yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas , dan pemerataan kesejahteraan. Bagi kepala daerah, trilogi ini harus menjadi kompas kebijakan yang tidak bisa ditawar lagi.
Tantangan utama kepala daerah adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berasal dari dalam (growth from within). Ini berarti meninggalkan model pembangunan yang hanya mengandalkan proyek infrastruktur fisik jangka pendek. Sebaliknya, kepala daerah harus fokus pada industrialisasi berbasis potensi lokal. Seorang bupati atau Gubernur di wilayah agraris atau maritim, harus berpikir melebihi sekadar menambah luas panen. Ia perlu mendorong industrialisasi hilirisasi pertanian dengan membangun pabrik pengolahan, cold storage, dan membuka akses pasar yang lebih luas. Dengan demikian, nilai tambah ekonomi dinikmati di daerah, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan yang organik dan berkelanjutan.
Stabilitas di tingkat daerah mencakup stabilitas politik, keamanan, dan yang paling krusial adalah stabilitas ekonomi mikro. Seorang wali kota,bupati,gubernur harus mampu menjamin stabilitas harga bahan pokok, kelancaran distribusi, dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Inflasi yang tinggi dan ketidakpastian adalah racun bagi investasi, baik dari luar maupun dari dalam daerah. Tanpa stabilitas ini, mustahil menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan.
Pemerataan sebagai Ukuran Keberhasilan Akhir.
Inilah titik kritis yang sering gagal dicapai. Pertumbuhan tinggi menjadi tidak bermakna jika hanya dinikmati oleh segelintir elite. Kepala daerah harus secara aktif merancang kebijakan yang memastikan pemerataan. Ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan UMKM dan koperasi, desentralisasi anggaran hingga ke desa-desa, dan program pelatihan keterampilan yang menyasar kelompok rentan. Pemerataan bukanlah konsekuensi otomatis dari pertumbuhan, melainkan hasil dari kebijakan yang disengaja dan inklusif.
Sistem Ekonomi Pancasila dan Kemandirian Daerah
Di atas kerangka Trilogi, Prof Sumitro meletakkan fondasi filosofis berupa Sistem Ekonomi Pancasila. Bagi kepala daerah, ini berarti membangun ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan dan berkemanusiaan. Prinsip “kekeluargaan” harus diwujudkan dalam bentuk dukungan nyata terhadap koperasi yang modern dan profesional, serta menciptakan kemitraan yang sehat antara usaha besar, menengah, dan mikro.
Konsep kemandirian ekonomi nasional ala Prof Sumitro harus diterjemahkan menjadi kemandirian ekonomi daerah. Setiap daerah didorong untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, mengurangi ketergantungan pada daerah lain untuk komoditas tertentu, dan membangun ketahanan pangan dan energi secara lokal. Seorang gubernur atau bupati di kawasan kepulauan, contohnya, harus memprioritaskan kemandirian pangan dan energi terbarukan untuk mengatasi kerentanannya terhadap gejolak pasar nasional.
Tanpa Paradigma Ini, Daerah Akan Sulit Berkembang
Mengabaikan pemikiran Prof Sumitro berisiko membuat pembangunan daerah berjalan tanpa arah yang jelas. Kebijakan akan cenderung reaktif, sekadar memenuhi janji kampanye jangka pendek tanpa visi jangka panjang. Daerah akan terjebak dalam siklus yang sama, pertumbuhan yang timpang, sumber daya yang tergerus tanpa nilai tambah optimal, dan ketergantungan yang tinggi pada anggaran pusat. Pada akhirnya, tanpa kerangka yang holistik dan berorientasi pada akar rumput seperti yang ditawarkan Prof Sumitro, upaya kepala daerah hanya akan menjadi pekerjaan tempelan yang gagal menciptakan transformasi ekonomi yang fundamental dan berkeadilan.
Pemikiran Profesor Sumitro Djojohadikusumo menawarkan peta jalan yang komprehensif dan relevan bagi kepala daerah di Indonesia. Dengan menjadikan Trilogi Pembangunan sebagai kompas kebijakan dan menjiwainya dengan semangat Sistem Ekonomi Pancasila, setiap gubernur, bupati, dan wali kota memiliki peluang untuk menjadi agen perubahan yang mendorong percepatan pembangunan di wilayahnya. Penerapan paradigma ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, didukung oleh stabilitas, dan yang terpenting, diakhiri dengan pemerataan kesejahteraan yang mampu dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Profesor Soemitro Djojohadikusumo Merupakan Ahli Ekonomi Pembangunan,Pernah Menjadi Menteri di Pemerintahan Presiden Sukarno dan Menteri di PRRI/Permesta. Persaingan Politik dan ketidak cocokan dengan PKI Membuat Prof Sumitro Keluar dari Kabinet Sukarno dan Bergabung dengan Kawan2 nya di PRRI/Permesta,Prof Sumitro Hijrah ke Luar negeri,Saat Suharto Menjadi Presiden,Prof Sumitro Kembali ke Indonesia dan jadi Penasehat Ekonomi Pemerintahan saat itu.Banyak Sumbangsih dan Pemikiran Prof Sumitro digunakan di era Pemerintahan Sukarno dan Suharto.
Saatnya kepala daerah berpikir layaknya seorang ” Prof Sumitro” di wilayahnya masing-masing, karena tanpa fondasi pemikiran yang kuat, mustahil membangun daerah yang sejahtera, adil, dan makmur.