
Oleh: Dulwahab (warga biasa Sulawesi )
Tanggal 10-11 Oktober 2025 di Makassar akan menjadi sebuah momen yang patut dicermati. Kota yang dijuluki “Angin Mamiri” ini tidak hanya akan disibukkan oleh hiruk-pikuk perdagangan dan pelayaran, tetapi juga oleh terkumpulnya para intelektual dan praktisi muslim terkemuka Indonesia dalam Rapat Koordinasi Regional (Rakor) KAHMI Nasional.
Di balik titel formalnya, sebuah pertanyaan mendasar mengemuka dari banyak kalangan, khususnya masyarakat Sulawesi, Apakah pertemuan elite ini mampu memberikan solusi nyata terhadap tantangan stagnasi pembangunan yang masih membelenggu sebagian wilayah di pulau ini?
Stagnasi pembangunan daerah, terutama di luar pusat-pusat ekonomi utama seperti Makassar, Manado, Gorontalo,Palu,Kendari,Mamuju seringkali ditandai dengan kesenjangan infrastruktur, rendahnya nilai tambah sektor pertanian dan perikanan, UMKM serta terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan berkualitas. Ini adalah masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral dan wacana semata.
Di sinilah Peran Rakor KAHMI hadir dengan proposisi nilai yang unik, yang berpotensi mengubah dinamika tersebut.
Pertama, Rakor ini bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan sebuah “ekosistem solusi” yang terintegrasi. Kekuatan terbesar KAHMI terletak pada jaringannya yang melintasi sektor. Bayangkan dalam satu ruangan, duduk berdampingan seorang Rektor Universitas ternama, seorang Dirut BUMN strategis, seorang praktisi hukum, seorang pengusaha logistik, dan seorang pejabat tinggi di Kementerian PUPR. Rakor seperti ini berfungsi sebagai platform untuk menyinkronkan “otak” dan “lengan” pembangunan. Sebuah masalah tentang jalan rusak di suatu kabupaten tidak hanya dibahas dari sisi anggaran, tetapi bisa langsung dikaitkan dengan kebijakan transportasi nasional, inovasi material konstruksi, dan model kemitraan dengan swasta. Ini adalah ruang di mana ide dapat segera dipertemukan dengan sumber daya dan eksekutor yang tepat.
Kedua, agenda Rakor yang fokus pada isu-isu strategis Sulawesi menjadi kunci. Jika tema yang diangkat adalah, misalnya, “Optimasi Poros Maritim Indonesia: Dari Makassar ke Dunia” atau “Inovasi Agroindustri dan Konektivitas Digital untuk Sulawesi Tengah”, maka diskusi akan memiliki dampak yang terukur. Rakor ini dapat menghasilkan “Peta Jalan Aksi” yang konkret, seperti Komitmen Investasi Hijau, Menggali model investasi berkelanjutan untuk sektor perikanan dan perkebunan yang menghindari eksploitasi sumber daya alam.
Kemudian Desain Konektivitas Inklusif, Merancang proposal konektivitas logistik dan digital yang tidak hanya menghubungkan kota besar, tetapi juga menjangkau kepulauan dan daerah pedalaman.
Lalu Gerakan Nasional Pemuda Desa, Meluncurkan program yang menggerakkan kader-kader muda KAHMI-HMI untuk terjun langsung melakukan pemberdayaan di desa-desa melalui pendampingan teknologi, pendidikan, dan kewirausahaan.
Rakor ini adalah momentum untuk membangun “Pusat Gravitasi Pembangunan Baru”. Selama ini, pembangunan kerap terkonsentrasi di Jawa. Sulawesi, dengan posisi geografisnya yang sentral, memiliki potensi menjadi penyeimbang. KAHMI, dengan pengaruhnya di tingkat nasional, dapat menjadi advokat yang kuat untuk memastikan proyek-proyek strategis nasional seperti pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), industri baterai kendaraan listrik di Morowali, atau hilirisasi pertanian benar-benar memberikan multiplier effect bagi masyarakat lokal.
Rakor di Makassar sudah seharusnya menjadi pernyataan politik bahwa Sulawesi bukanlah pinggiran, melainkan jantung dari masa depan Indonesia.
Namun, potensi ini hanya akan menjadi mimpi jika Rakor ini gagal melampaui batasannya sendiri. Kesuksesannya diukur bukan dari kesempurnaan acara atau sambutan, melainkan dari dua hal, komitmen pasca-rapat dan inklusivitas.
Rekomendasi yang dihasilkan harus memiliki pemilik (owner) yang jelas dan mekanisme tindak lanjut yang transparan. Selain itu, KAHMI harus membuka jendela dialog tidak hanya untuk internalnya, tetapi juga bagi pemerintah daerah, akademisi lokal, pelaku UMKM, dan komunitas adat untuk menyampaikan aspirasi langsung. Suara dari mereka yang merasakan langsung dampak stagnasi inilah yang akan membuat agenda rapat menjadi relevan dan membumi.
Jadi pertanyaan apakah Rakor KAHMI Nasional di Makassar dapat menjawab stagnasi pembangunan adalah pertanyaan yang tepat. Jawabannya terletak pada kapasitas KAHMI untuk bertindak sebagai katalis dan integrator. Jika para alumni ini mampu mentransformasikan jaringan, ilmu, dan pengalamannya menjadi kebijakan yang terukur, investasi yang beretika, dan program pemberdayaan yang masif, maka Rakor ini bukanlah sekadar acara di kalender. Ia akan menjadi titik balik sebuah deklarasi bahwa Sulawesi siap bangkit, didorong oleh semangat kolektif untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi seluruh anak bangsa Indonesia.