Oleh: Dulwahab (jurnalis minahasa-sulawesi).
Dalam khazanah budaya Nusantara, setiap suku bangsa memiliki tokoh-tokoh sentral yang menjadi penjaga kosmos spiritual mereka. Bagi masyarakat suku Minahasa, tokoh tersebut adalah Walian. Lebih dari sekadar “pendeta” atau “dukun”atau “imam” dalam pengertian sederhana, Walian merupakan institusi multidimensional yang menjadi poros kehidupan religius, sosial, dan kultural dalam kepercayaan leluhur Malesung. Sebelum Kekristenan menyebar dan menjadi mayoritas di Minahasa, Walian adalah figur yang menghubungkan dunia nyata dengan yang gaib, manusia dengan Sang Pencipta (Opo Empung), serta masa lalu dengan masa kini.
Mediator Kosmis: Peran dan Fungsi Walian
Dalam masyarakat tradisional Minahasa, Walian tidak memiliki peran yang tunggal. Ia adalah simpul dari berbagai kebutuhan komunitas, yang perannya dapat dirinci ke dalam beberapa dimensi kunci.

Pertama, sebagai Pemimpin Ritual dan Upacara Adat. Walian adalah penguasa ritus-ritus sakral. Dialah yang memimpin upacara seperti ritus syukur atas panen atau pembangunan rumah baru dan upacara kematia. Walian bertindak sebagai juru bicara masyarakat, memanjatkan doa, dan mempersembahkan korban sesajen kepada Opo Empung (Tuhan) dan roh leluhur.
Kedua, sebagai Penyembuh atau Tabib (Tonaas wa im balung). Pengetahuan Walian akan obat balung (tanaman obat) dan poso (mantra-mantra penyembuh) membuatnya berfungsi sebagai sistem kesehatan tradisional. Ia mengobati penyakit, baik yang berakar pada ketidakseimbangan fisik maupun yang dipercaya disebabkan oleh gangguan unsur gaib, menyembuhkan jiwa dan raga secara simultan.
Ketiga, sebagai Peramal dan Pemberi Petunjuk. Tidak ada keputusan penting mulai dari berperang, memulai masa tanam, hingga merantau yang diambil tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Walian. Melalui pembacaan tanda-tanda alam, seperti perilaku burung atau bentuk awan, atau bahkan melalui keadaan trance, Walian menafsirkan kehendak alam gaib dan memberikan petunjuk untuk kemaslahatan bersama.
Keempat, dan yang paling mendasar, Walian adalah Penjaga Keseimbangan Kosmis. Tugas utamanya adalah memelihara hubungan harmonis antara manusia, alam, dan dunia roh. Ia dipercaya mampu menjadi penengah yang meredam murka roh-roh penguasa gunung, sungai, atau laut, sehingga mencegah bencana dan memastikan kelangsungan hidup komunitas.
Jalur Menjadi Walian: Bukan Pilihan, Melainkan Panggilan.
Berbeda dengan profesi lain, menjadi Walian bukanlah sebuah karier yang bisa direncanakan. Ini adalah sebuah panggilan gaib yang tidak bisa ditolak. Seseorang biasanya “terpilih” melalui pengalaman liminal, seperti mimpi yang berulang, penglihatan, atau kesembuhan ajaib dari penyakit misterius. Pengalaman ini diyakini sebagai panggilan langsung dari Opo Empung atau roh leluhur.

Setelah terpilih, calon Walian tidak serta merta berkuasa. Ia harus menjalani proses belajar dan inisiasi yang panjang di bawah bimbingan seorang Walian senior. Selama bertahun-tahun, ia mempelajari seluk-beluk poso, tata cara upacara yang rumit, dan ramuan-ramuan obat. Ciri-ciri fisik dan perilaku tertentu, seperti sorot mata yang tajam atau kemampuan mudah memasuki trance, sering melekat pada diri seorang Walian, membuatnya dihormati sekaligus dilihat sebagai sosok yang berbeda.
Dualisme Kepemimpinan: Walian dan Tonaas.
Untuk memahami posisi Walian secara utuh, kita harus melihatnya dalam dualisme kepemimpinan tradisional Minahasa. Di samping Walian, terdapat Tonaas, yang berperan sebagai pemimpin fisik, politik, dan militer. Jika Tonaas adalah panglima perang yang gagah berani, ahli strategi duniawi, maka Walian adalah kekuatan spiritual di belakang layar. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Sebelum sebuah pertempuran, Tonaas memimpin pasukan dengan strateginya, sementara Walian memastikan dukungan dari alam gaib melalui ritual dan doa.
Transformasi dan Warisan Walian dalam Konteks Modern.
Gelombang modernisasi dan masuknya Kekristenan sejak abad ke-19 secara tak terelakkan menggeser peran sentral Walian. Fungsi mereka sebagai pemimpin agama utama secara formal telah digantikan oleh pendeta dan pastor. Namun, untuk menyatakan bahwa Walian telah punah adalah sebuah kekeliruan.
Esensi dari peran Walian tetap hidup melalui adaptasi dan transformasi. Pengetahuan pengobatan tradisionalnya masih dipegang dan dipraktikkan oleh beberapa orang. Dalam konteks budaya, peran ritual Walian sering “diambil alih” oleh tokoh adat atau moderator dalam upacara-upacara adat yang kini telah diwarnai nilai-nilai Kristen. Istilah “Walian” sendiri tetap lestari sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan kearifan lokal, ketahanan budaya, dan identitas spiritual asli Minahasa.
Walian adalah lebih dari sekadar jabatan,ia adalah manifestasi dari cara pandang kosmologis orang Minahasa. Ia adalah intelektual komunitas, ahli obat, pemimpin doa, dan penjaga keseimbangan semesta. Memahami Walian bukan hanya sekadar mengenal sebuah figur tradisional, melainkan memahami jiwa dari kebudayaan Minahasa itu sendiri sebuah sistem yang memandang kehidupan sebagai jalinan yang tak terpisahkan antara yang material dan spiritual, antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam narasi besar Indonesia, Walian adalah bukti betapa kayanya Nusantara dengan pemikiran filosofis dan sistem kepemimpinan spiritual yang sophisticated.
Bersambung…