Editorial:
Sebuah angka yang mencengangkan terkuak di bumi Serambi Madinah. Sepanjang tahun 2024, Provinsi Gorontalo mencatat 187 kasus kekerasan terhadap anak dan 63 kasus perdagangan orang (TPPO). Jika digabungkan, angkanya mencapai 250 kasus sebuah potret buram yang mengiris hati dalam catatan kemanusiaan daerah ini. Data ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari retaknya fondasi perlindungan terhadap kelompok paling rentan di masyarakat.
Dari 187 kasus kekerasan anak, 154 di antaranya dialami oleh anak perempuan. Ini menunjukkan kerentanan berlapis yang harus ditanggung oleh anak perempuan—bukan hanya karena usianya, tetapi juga karena gendernya. Mereka menjadi korban dalam berbagai bentuk kekerasan: fisik, seksual, dan psikis. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi pelindung utama justru sering berubah menjadi lokasi paling berbahaya. dizaman Nabi Muhammad Saw,saat Arab masih hidup dalam budaya Jahiliah, Kekerasan terhadap Anak Perempuan sangat tinggi,anak perempuan dizaman jahiliah dikubur Hidup hidup dan tidak berharga.,Nabi Muhammad Saw melawan kondisi budaya kekerasan itu.
Mencari Akar Masalah.
Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Lemahnya perlindungan terhadap anak di lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi faktor utama. Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan pertama, justru sering menjadi episentrum kekerasan. Pola asuh yang otoriter, pemahaman keliru tentang disiplin, serta siklus kekerasan yang terwariskan turut melanggengkan praktik ini.
Faktor ekonomi juga menjadi pendorong signifikan, terutama dalam kasus TPPO. Kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja membuat perempuan dan anak menjadi mangsa empuk jaringan perdagangan manusia dengan iming-iming kehidupan lebih baik. Selain itu, budaya diam dan stigma sosial membuat banyak kasus tidak terungkap. Korban seringkali takut melapor karena tekanan keluarga atau masyarakat.
Dampak yang Mengancam Masa Depan Daerah
Setiap kasus kekerasan bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang dalam dan berkepanjangan. Seperti ditegaskan Wagub Idah, “Anak-anak adalah aset masa depan. Ketika mereka menjadi korban kekerasan, maka masa depan daerah ini juga ikut terancam.” Korban kekerasan seringkali kesulitan mencapai potensi maksimalnya, baik dalam pendidikan maupun pengembangan diri. Dampaknya, daerah kehilangan generasi yang sehat secara fisik dan mental modal utama pembangunan.
Menuju Solusi Kolaboratif
Menghadapi kenyataan pahit ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah berkomitmen memperkuat sistem perlindungan anak melalui peningkatan kapasitas petugas, edukasi berkelanjutan, dan sinergi antar lembaga. Namun, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pencegahan kekerasan harus menjadi gerakan bersama yang melibatkan semua pihak.
Pertama, keluarga harus menjadi garda terdepan. Pendidikan parenting dan kesadaran tentang hak anak perlu disebarluaskan hingga ke tingkat akar rumput. Kedua, masyarakat perlu membangun sistem kewaspadaan dan dukungan. RT/RW, komunitas lokal, dan organisasi keagamaan dapat menjadi mata dan telinga untuk mendeteksi dini potensi kekerasan. Ketiga, organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan Bayangkari telah menunjukkan komitmennya melalui inisiatif seminar dan kegiatan pencegahan lainnya. Keempat, penegakan hukum yang tegas dan protektif terhadap korban mutlak diperlukan.
Refleksi dan Harapan
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Gorontalo adalah alarm darurat yang mengingatkan kita semua akan pentingnya membangun ekosistem perlindungan yang komprehensif. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif setiap warga masyarakat.
Membangun Gorontalo yang aman bagi perempuan dan anak harus dimulai dari kesadaran bahwa mereka adalah subjek yang harus dilindungi, bukan objek yang bisa disakiti.Hanya dengan cara ini, Gorontalo dapat benar-benar menjadi Serambi Madinah yang memancarkan cahaya peradaban dan kasih sayang bagi semua warganya.