Editorial:
Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Pohuwato menyatakan kekecewaan mendalam atas ketidakhadiran tiga perusahaan tambang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa (28/10/2025). PT PBT, PT PETS, dan PT GSM dinilai mengabaikan undangan resmi yang membahas dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai dasar operasi pertambangan di wilayah tersebut.
Ketua Komisi III DPRD Pohuwato, Nasir Giasi, dalam pernyataan resminya menyatakan, “Rapat ini merupakan forum resmi DPRD yang mewakili semua fraksi. Ketidakhadiran mereka mencerminkan sikap tidak menghargai lembaga legislatif daerah.”
Nasir menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam. Komisi III akan mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) jika ketiga perusahaan kembali mangkir dalam undangan berikutnya. “Ini merupakan hak kami dalam menjalankan fungsi pengawasan. Jika dua kali diundang tetap tidak hadir, kami akan eskalasi ke Pansus,” tegasnya.
Hal dan Kejadian ini tentu saja menuai Polemik dan Kontroversi, memunculkan Pro dan Kontra di Kalangan Masyarakat Pohuwato Gorontalo dan di soroti Pemerintah Pusat.
Ketika DPRD Pohuwato Terjebak dalam Drama Politik?, Menyikapi RDPU DPRD Pohuwato Terkait Perusahaan Tambang Legal Ber-Izin Resmi.
Dalam narasi yang dibangun mengenai ketidakhadiran tiga perusahaan tambang dalam Rapat Dengar Pendapat DPRD Pohuwato, terselip sebuah pertunjukan politik yang patut disoroti secara kritis. Meskipun tampak sebagai upaya perlindungan lingkungan yang heroik, narasi ini justru mengungkap kecacatan dalam pendekatan pengawasan legislatif yang cenderung reaktif dan berorientasi pada konfrontasi.
Dari Substansi Menuju Sensasi: Personalisasi Masalah Administratif
Respons Ketua Komisi III yang “geram” atas ketidakhadiran perusahaan mengindikasikan sebuah pendekatan yang keliru dalam menyikapi persoalan administratif. Alih-alih berfokus pada substansi pemeriksaan AMDAL, narasi justru terperangkap dalam retorika penghinaan terhadap institusi. Pernyataan “tidak menghargai kami sebagai wakil rakyat” menunjukkan personalisasi masalah yang berbahaya, dimana kepentingan publik direduksi menjadi soal harga diri politik. Padahal, dalam negara hukum, ketidakhadiran dalam rapat seharusnya disikapi secara prosedural, bukan emosional.
Ancaman Pansus: Politik Pamer Kekuasaan yang Kontraproduktif
Penggunaan ancaman pembentukan Panitia Khusus (Pansus) sebagai senjata andalan mencerminkan mentalitas instan dalam menyelesaikan persoalan kompleks. Pansus—yang seharusnya menjadi alat strategis untuk penyelidikan mendalam—didegradasi menjadi sekadar alat tekanan untuk memaksa kehadiran dalam rapat. Pendekatan semacam ini tidak hanya menunjukkan ketidaksabaran politik, tetapi juga mengabaikan prinsip esensial bahwa pengawasan yang efektif membutuhkan pendekatan bertahap dan berbasis bukti.
Absennya Refleksi Diri: Mengabaikan Akar Masalah Sebenarnya
Narasi ini secara mencolok mengabaikan pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah undangan telah disampaikan dengan prosedur yang tepat? Apakah mekanisme koordinasi dengan dinas teknis terkait telah optimal? Daripada melakukan evaluasi internal terhadap efektivitas komunikasi dan koordinasi, DPRD memilih untuk menempatkan diri sebagai korban yang terhina. Sikap ini menghalangi proses introspeksi yang justru diperlukan untuk membangun sistem pengawasan yang lebih efektif.
Kegagalan Memahami Hierarki Pengawasan.
Klaim bahwa DPRD tidak dapat melakukan pengawasan tanpa akses langsung ke dokumen AMDAL mengungkap misunderstanding terhadap sistem pengawasan yang berjenjang. Seharusnya, DPRD melakukan pengawasan melalui evaluasi kinerja dinas teknis—dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup—yang memiliki kewenangan primer dalam pengawasan AMDAL. Dengan melompati hierarki ini, DPRD justru berisiko menciptakan tumpang-tindih kewenangan yang dapat melemahkan efektivitas pengawasan secara keseluruhan.
Dilema antara Pencitraan dan Substansi.
Narasi konfrontatif yang dibangun menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah ini benar-benar tentang perlindungan lingkungan, atau sekadar pertunjukan politik untuk konsumsi publik? Penekanan berlebihan pada “sikap tegas” dan ancaman eskalasi ke tingkat provinsi lebih mencerminkan politik pencitraan daripada komitmen substantif terhadap penyelesaian masalah. Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini justru dapat merugikan kepentingan publik, karena menyuburkan budaya konfrontasi alih-alih membangun tata kelola yang kolaboratif.
DPRD Pohuwato dan Paradoks Pengawasan: Antara Memburu yang Legal dan Membiarkan yang Ilegal?.
Dalam dinamika pemerintahan daerah, hubungan yang harmonis antara DPRD dan kebijakan pemerintah pusat merupakan prasyarat penting untuk menciptakan iklim investasi yang stabil. Namun, yang terjadi di Pohuwato justru menunjukkan fenomena sebaliknya, dimana DPRD setempat melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)-nya justru berpotensi bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah mengeluarkan izin operasi bagi perusahaan tambang. Paradoks ini patut dikritisi, terutama ketika DPRD gencar mempersoalkan perusahaan legal sementara tambang ilegal dibiarkan beroperasi.
Pertama, perlu dipahami bahwa izin yang dikeluarkan pemerintah pusat bukanlah produk hukum yang sembarangan. Izin usaha pertambangan diterbitkan setelah melalui proses kajian yang komprehensif, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang ketat. Perusahaan-perusahaan tambang legal ini telah memenuhi semua persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, upaya DPRD Pohuwato untuk “menguji ulang” legalitas perusahaan melalui RDPU justru berpotensi menimbulkan dualisme kebijakan dan ketidakpastian hukum. Padahal, perusahaan-perusahaan ini telah memberikan kontribusi nyata melalui penerimaan negara dan daerah, serta penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.
Kedua, terdapat kejanggalan prosedural dalam pelaksanaan RDPU tersebut. Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, surat undangan RDPU yang bersifat formal dan melibatkan banyak pihak seharusnya ditandatangani oleh Ketua DPRD, bukan Wakil Ketua. Kesalahan prosedural ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan RDPU tidak dilakukan secara maksimal dan mempertanyakan kredibilitas proses tersebut. Bagaimana mungkin sebuah institusi legislatif dapat melakukan pengawasan dengan baik jika dalam hal prosedur dasar saja mereka abai?
Ketiga, yang paling ironis adalah paradoks dalam objek pengawasan. DPRD Pohuwato tampak begitu bersemangat mempersoalkan perusahaan tambang yang jelas-jelas legal dan telah mematuhi semua persyaratan, sementara di sisi lain, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) atau tambang ilegal justru tidak disoroti dan terus beroperasi. Tambang ilegal inilah yang sebenarnya menimbulkan dampak lingkungan lebih buruk, merugikan negara dari sisi penerimaan, dan seringkali terkait dengan praktik-praktik tidak sehat lainnya. Jika DPRD benar-benar konsern dengan lingkungan dan tata kelola pertambangan, seharusnya energi dan sumber daya difokuskan pada pemberantasan tambang ilegal ini.
Fenomena di Pohuwato ini mencerminkan sebuah kelucuan politik dalam lembaga perwakilan rakyat. Alih-alih melindungi kepentingan rakyat dengan memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai aturan, yang terjadi justru pembiaran terhadap pelaku illegal dan penekanan berlebihan terhadap pelaku legal. Hal ini berpotensi mengirim sinyal yang salah kepada investor, bahwa kepatuhan pada aturan justru akan berujung pada represi politik, sementara ketidakpatuhan justru bisa berlindung dalam pembiaran.
DPRD Pohuwato perlu melakukan reorientasi dalam fungsi pengawasannya. Seharusnya, DPRD berperan sebagai mitra pemerintah daerah dan Pusat dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, bukan menjadi penghambat dengan mempersulit perusahaan yang sudah legal. Fokus pengawasan semestinya diarahkan pada penertiban tambang ilegal (PETI) yang jelas-jelas merugikan negara dan merusak lingkungan. Dengan demikian, DPRD benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai representasi kepentingan rakyat, bukan sekadar Terjebak dalam orkestrasi drama politik yang kontra produktif bagi pembangunan daerah Pohuwato? .
Tambang Liar, Ilegal (PETI) : Akar Krisis Lingkungan dan Sosial di Kabupaten Pohuwato.
Fakta di lapangan telah berbicara dengan jelas. Di Kabupaten Pohuwato, bukti-bukti kerusakan lingkungan dan sosial bukan lagi isu semata, melainkan realitas yang nyata dan disaksikan oleh masyarakat luas, baik di Provinsi Gorontalo dan Nasional,
Dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Aktivitas Tambang Ilegal, liar (PETI) merupakan penyebab utama dan tunggal dari degradasi ,Kehancuran lingkungan yang multidimensional, yang secara langsung menggerus fondasi pertanian, kesehatan, dan keamanan ekologis masyarakat Pohuwato.
Dampak-dampak krusial dari aktivitas PETI yang makin tak terkendali ini termanifestasi dalam beberapa aspek kehidupan yang tidak dapat disangkal,
Pertama, kehancuran sektor pertanian. Lahan-lahan subur yang menjadi penopang hidup berubah menjadi padang tandus akibat sedimentasi dan pencemaran. Air irigasi yang terkontaminasi limbah merkuri dan lumpur telah menyebabkan penurunan, bahkan kegagalan panen secara total. Situasi ini bukan sekadar kerugian ekonomi, melainkan bentuk pemusnahan mata pencaharian petani secara sistematis di Pohuwato.
Kedua, krisis pencemaran air. Sumber-sumber air bersih, dari sungai hingga mata air, telah berubah menjadi jalur limbah beracun. Pencemaran oleh logam berat telah mencabut hak dasar warga untuk mengakses air bersih, dan Laut Pohuwato, mengancam keberlangsungan hidup sehari-hari dan masa depan kesehatan masyarakat.
Ketiga, ancaman serius terhadap kesehatan publik. Masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, menghadapi paparan ganda: gangguan pernapasan (ISPA) akibat debu tambang dan risiko keracunan kronis logam berat melalui air yang terkontaminasi. PETI dengan demikian telah menjadi ancaman nyata bagi kualitas hidup generasi sekarang dan mendatang di Pohuwato.
Keempat, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana. Kerusakan hutan dan alterasi landscape secara masif oleh PETI telah menghilangkan fungsi daerah resapan air. Akibatnya, banjir bandang dan tanah longsor yang dahulu mungkin jarang, kini menjadi ancaman rutin yang menghanyutkan tanah, harta benda, dan nyawa Warga Pohuwato.
Penting untuk ditegaskan dengan jelas bahwa seluruh efek negatif ini bersumber secara langsung dari operasi Tambang liar Ilegal (PETI), dan bukan dari aktivitas tambang yang legal dan berizin. Tambang legal beroperasi dalam koridor hukum dan aturan SOP yang ketat yang mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sedangkan Tambang liar PETI beroperasi di luar hukum, mengejar keuntungan jangka pendek tanpa tanggung jawab, Negara Rugi dan meninggalkan warisan kerusakan permanen bagi alam dan masyarakat Pohuwato Gorontalo.