Oleh: Husin Ali
Antropolog, Peneliti Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Gorontalo.
Setiap pagi, ketika saya melintas di depan sebuah sekolah menengah di Gorontalo, pemandangan yang sama selalu menyentuh hati saya. Di antara bayangan pohon flamboyan dan riuh suara motor yang berlalu, tampak barisan anak-anak berseragam putih biru berjalan tergesa. Beberapa membawa kitab kecil di tangan, sebagian lainnya menenteng bekal, sementara dari arah mushala terdengar lantunan lembut doa pagi.
Di halaman sekolah, guru-guru berdiri menyambut mereka dengan senyum, sementara seorang siswa kecil menunduk menyalami tangan gurunya.
Pagi di Gorontalo selalu punya cara menenangkan hati — seakan seluruh udara dipenuhi oleh keheningan doa dan harapan orang tua yang mengantar anaknya menuju masa depan.
Namun di balik rutinitas yang tampak sederhana itu, tersimpan pesan spiritual yang dalam. Falsafah adat Gorontalo berbisik lembut di dasar budaya: “Adati hulo-hulo’a to syareati, syareati hulo-hulo’a to Kitabullah” — adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah. Falsafah ini bukan hanya untaian kata, melainkan napas yang menuntun masyarakat, termasuk dunia pendidikan, untuk hidup dalam harmoni antara ilmu dan iman.
Religiusitas yang Membumi
Dalam pandangan antropologi, agama yang hidup bukanlah agama yang hanya dihafal, tetapi yang tumbuh dari kebiasaan sehari-hari. Orang Gorontalo mengenal lima nilai dasar religius yang menjadi pilar moral kehidupan: motabiya (melaksanakan sholat, dari akar kata tabiya), mongadi (mengaji dan membaca Al-Qur’an), mosalawati (bershalawat), mopuasa (berpuasa), dan mezakati (berzakat). Kelima nilai ini bukan sekadar kewajiban ibadah, tetapi juga penanda bahwa iman sejati lahir dari keteraturan, kesadaran, dan kasih sosial yang mewujud dalam perilaku.
Sayangnya, dalam pendidikan modern, nilai-nilai ini sering kehilangan tempat. Di ruang kelas, pelajaran agama kerap menjadi hafalan; di buku teks, iman dirangkum dalam definisi. Padahal di tanah Gorontalo, agama pernah hidup sebagai denyut budaya — bernafas dalam gerak, dan berakar dalam kebiasaan.
Sekolah dan Kekosongan Makna
Dari penelitian yang saya lakukan di beberapa sekolah menengah di Gorontalo, saya menemukan keindahan sekaligus kekosongan. Para guru telah berusaha menanamkan nilai religius, namun banyak yang terjebak dalam pola mekanis: doa sebelum belajar, salat berjamaah, tadarus mingguan.
Semuanya baik, tetapi tanpa ruh. Banyak anak yang hafal doa, namun lupa maknanya; terbiasa mengaji, tapi tak memahami apa yang dibacanya. Mereka mengenal “bismillah”, namun tidak menyadari bahwa menyebut nama Tuhan berarti mengundang-Nya hadir dalam setiap perbuatan.
Dalam penelitian lapangan yang saya lakukan selama lebih dari satu tahun di berbagai sekolah menengah di Gorontalo, saya belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang ruang kelas dan buku teks, melainkan tentang denyut kehidupan yang berulang setiap pagi — tentang cara guru menyapa, cara siswa mendengar, dan cara masyarakat menanamkan makna di balik setiap tindakan kecil.
Saya hadir di antara mereka: duduk di ruang guru yang sederhana, mendengarkan obrolan hangat tentang anak-anak yang mulai jarang datang ke mushala sekolah; ikut menyaksikan kegiatan doa pagi, tadarus, hingga kerja bakti. Dari sana saya melihat bahwa nilai-nilai motabiya dan mongadi bukanlah konsep asing yang harus diajarkan ulang, melainkan warisan yang tinggal dihidupkan kembali.
Banyak guru mengakui, tantangan terbesar bukan pada kurikulum, tetapi pada kehilangan ruh. Mereka rindu melihat anak-anak datang dengan wajah tenang setelah sholat Dhuha, mengaji dengan suara yang tidak terburu-buru, dan saling menolong tanpa diperintah. Nilai-nilai itu masih hidup, tetapi perlu disentuh dengan hati — bukan sekadar diatur dalam jadwal sekolah.
Penelitian ini mengajarkan saya bahwa pendidikan sejati tidak ditemukan di antara tumpukan dokumen, tetapi di antara langkah kaki para guru dan anak-anak yang setiap hari berjuang menjaga kesalehan di tengah arus dunia modern.
Menghidupkan Kembali “Motabiya”
Di salah satu sekolah, saya pernah menyaksikan seorang kepala sekolah menyapa siswanya setiap pagi dengan senyum penuh ketulusan. Ia tidak hanya bertanya, tetapi menuturkan sapaan dalam bahasa yang hangat dan dalam:
“Wololo habari limongoli wolo mengodulaa limongoli, jalipata motabiya wolo popotihula tabiya.”
(Bagaimana kabar kalian dan kabar orang tua kalian, jangan lupa sholat dan dirikanlah sholat.)
Kalimat itu sederhana, namun menggetarkan. Ia bukan sekadar sapaan, melainkan doa yang hidup, nasihat yang lembut, dan cinta yang diajarkan tanpa menggurui.
Setiap kali kalimat itu terdengar, suasana sekolah berubah. Anak-anak yang semula terburu-buru berhenti sejenak, menunduk, lalu tersenyum. Seakan kata itu membangunkan kesadaran bahwa beribadah bukan beban, melainkan panggilan kasih dari Tuhan.
Dhuha: Cahaya Awal Sebelum Ilmu
Salah satu bentuk nyata dari motabiya yang kini mulai dihidupkan kembali di sejumlah sekolah di Gorontalo adalah kebiasaan sholat Dhuha setiap pagi sebelum pelajaran dimulai.
Ibadah yang sederhana ini, ternyata memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa. Sholat Dhuha menjadi jeda hening di tengah hiruk pikuk pagi, tempat siswa menata niat dan menenangkan hati sebelum belajar.
Dalam budaya Gorontalo, waktu Dhuha dipandang sebagai waktu suci untuk memohon keberkahan rezeki dan ilmu. Dengan membiasakan sholat Dhuha, anak-anak dilatih untuk mengawali hari dengan kesadaran bahwa pengetahuan bukan sekadar hasil berpikir, tetapi juga anugerah yang datang dari hati yang bersih dan niat yang lurus.
Jejak Kebijakan yang Menjaga Ruh Kota
Upaya menumbuhkan kembali nilai-nilai religius sesungguhnya bukan hal baru di Gorontalo. Salah satu kebijakan yang patut dikenang adalah instruksi Walikota Gorontalo, Bapak Haji Adhan Dambea, yang dengan tegas menetapkan bahwa setiap hari Jumat mulai pukul 13.00 hingga 15.00 seluruh kegiatan di lingkungan Kota Gorontalo harus dihentikan, dan waktu tersebut wajib diisi dengan kegiatan belajar mengaji.
Kebijakan ini berlaku di seluruh wilayah kota — dari kantor pemerintahan, sekolah, hingga pasar-pasar kecil di sudut sudut kota. Pada jam itu, suasana Gorontalo berubah menjadi tenang dan khidmat. Anak-anak berduyun-duyun menuju masjid atau taman pengajian, para pegawai membuka mushaf, dan suara tilawah terdengar dari setiap penjuru kota.
Dalam pandangan antropologis, kebijakan seperti ini bukan sekadar peraturan administratif, melainkan tindakan simbolik yang memperkuat identitas religius dan sosial masyarakat Gorontalo. Ia menjadikan kota bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi juga ruang spiritual bersama — tempat warga belajar memadukan kesalehan pribadi dengan tanggung jawab sosial.
Antara Doa dan Tindakan
Religiusitas sejati bukanlah sekadar suara doa yang diucapkan, melainkan tindakan nyata yang mencerminkan cinta kepada Tuhan dan sesama. Mongadi dan motabiya adalah dua sayap spiritual — satu menyentuh akal, satu menundukkan hati. Anak yang mengaji dengan kesungguhan akan memahami arti hidup; anak yang sholat dengan kesadaran akan belajar menundukkan ego. Dan ketika keduanya berjalan bersama, lahirlah manusia yang utuh: berpikir dengan cahaya, bertindak dengan nurani.
Menolong teman menjadi ibadah. Menjaga kebersihan menjadi dzikir. Belajar dengan sungguh-sungguh menjadi wujud syukur. Inilah wajah pendidikan karakter yang diimpikan Gorontalo: agama yang tidak diajarkan dengan kata, tapi diteladankan dengan laku.
Penutup:
Pendidikan religius di sekolah mestinya bukan sekadar mata pelajaran, tetapi napas dari seluruh proses belajar. Ketika seorang guru menyapa siswanya dengan “Wololo habari limongoli wolo mengodulaa limongoli…” dan anak-anak menjawab dengan senyum yang tulus, di sanalah falsafah Adati hulo-hulo’a to syareati kembali hidup.
Pendidikan karakter sejati tidak dibangun oleh proyek kebijakan, melainkan oleh getar hati dan keteladanan kecil yang terus diulang setiap hari. Dan tugas kita, para guru, orang tua, dan pemimpin, hanyalah satu: menjaga agar nilai-nilai seperti motabiya dan mongadi tidak hilang di tengah riuhnya zaman.
Karena di sanalah letak religiusitas yang paling dalam: ibadah yang menjelma menjadi tindakan, dan tindakan yang menjadi ibadah.
— Husin Ali —
Antropolog, Peneliti Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Gorontalo.