Editorial:
D Provinsi Gorontalo, sebuah fenomena politik sedang berlangsung dan menarik untuk dicermati. Kabupaten Bone Bolango, yang semula tampak tenang, kini bergolak oleh gemuruh ketidakpuasan yang mengarah pada satu sosok: Bupati Ismet Mile. Gelombang demonstrasi yang awalnya kecil, kini perlahan membesar, menyuarakan satu tuntutan yang tegas: pelengseran. Narasi “makzulkan Ismet Mile” yang dahulu hanya bisikan, kini telah menjadi headline di media online dan topik panas di sudut-sudut warung kopi serta komunitas warga. Situasi ini, bagi yang jeli mengamati dinamika politik lokal, terasa seperti sebuah deja vu—sebuah gema kecil dari semangat Reformasi 1998 yang mengutamakan kedaulatan rakyat.
Kondisi semacam ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Para wartawan yang setiap hari membedah kebijakan, aktivis LSM yang bergulat dengan data di lapangan, mahasiswa yang kritis, dan para politisi di partai tentu sangat paham akar persoalannya. Ancaman pemakzulan terhadap Ismet Mile adalah puncak gunung es dari akumulasi kekecewaan publik yang gagal direspons dengan efektif oleh sang pemimpin. Mulai Menjauhnya media dan partai politik dari Bupati Ismet Mile bukanlah sebab, melainkan gejala dari sebuah kepemimpinan yang mulai kehilangan legitimasinya.
Media Online: Dari Pemberitaan ke Pembentukan Opini “Makzul”
Media, khususnya media online, telah beralih peran dari sekadar pelapor menjadi aktor politik yang aktif. Mereka berfungsi sebagai “agenda setter” dan “public court”. Pemberitaan yang intensif tentang kinerja pemerintahan, dugaan inefisiensi, atau ketidakpuasan publik, secara perlahan namun pasti, membingkai citra Ismet Mile sebagai pemimpin yang gagal memenuhi harapan. Setiap artikel, setiap liputan demonstrasi, dan setiap analisis kritik yang tersebar di dunia digital adalah paku yang melonggarkan dudukan kursi sang Bupati. Media online menjadi ruang publik alternatif di mana wacana pemakzulan tidak hanya disebarkan, tetapi juga dinormalisasi dan dijustifikasi.
Partai Politik: Dukungan yang Menguap dan Strategi Menyelamatkan Diri
Dalam konstelasi ini, melemahnya dukungan politik dari partai-partai—baik yang di dalam koalisi pendukungnya maupun oposisi—adalah sinyal paling berbahaya bagi Ismet Mile. Partai politik adalah tulang punggung kekuasaan eksekutif di level daerah. Ketika dukungan ini melemah, terlihat dari sikap diam, pernyataan yang tidak lagi membela, atau bahkan desas-desus perpindahan kubu, itu menandakan satu hal: partai sedang menghitung ulang (recalculating). Mereka membaca arah angin politik dan menyadari bahwa terus mendukung Ismet Mile bisa menjadi bumerang yang merugikan elektabilitas mereka di pemilu mendatang. Loyalitas politik seringkali kalah oleh naluri bertahan hidup. Partai mungkin mulai memandang Ismet Mile bukan sebagai aset, melainkan sebagai liabilitas yang harus segera ditinggalkan sebelum kapal tenggelam.
Warung Kopi dan Komunitas Warga: Ruang di Mana Legitimasi Benar-Benar Runtuh
Jika media online adalah panggung formalnya, maka warung kopi dan komunitas warga adalah “ground zero” dari gerakan ini. Di sanalah legitimasi Ismet Mile sebagai pemimpin benar-benar diuji dan, berdasarkan narasi yang berkembang, dinyatakan gagal. Percakapan dari mulut ke mulut, keluhan tentang pelayanan publik, dan cerita tentang janji kampanye yang tidak terpenuhi, memiliki daya rusak yang lebih kuat daripada sekadar pemberitaan media. Ruang-ruang informal inilah yang memobilisasi massa untuk turun ke jalan, mengubah ketidakpuasan individual menjadi kekuatan kolektif. Gerakan yang lahir dari akar rumput ini, meski terlihat sporadis, memiliki energi dan keaslian yang mirip dengan semangat Reformasi ’98, di mana rakyat merasa memiliki mandat untuk menuntut pertanggungjawaban penguasa.
Ancaman pemakzulan terhadap Bupati Ismet Mile di Bone Bolango adalah sebuah pelajaran demokrasi yang mahal. Ia menunjukkan bahwa dalam era keterbukaan informasi, kekuasaan tidak lagi absolut. Seorang pemimpin tidak bisa hanya bertumpu pada janji lama dan struktur politik yang statis. Ketika media menjauh dan partai politik mulai menarik dukungan, itu adalah alarm bahwa sang pemimpin telah kehilangan “social license to govern”.
Ismet Mile kini berada di persimpangan. Jalan keluarnya bukan dengan membeli pemberitaan positif atau melakukan transaksi politik dengan elit partai semata. Solusi fundamentalnya adalah kembali kepada rakyat: membuka dialog publik, mendengarkan kritik dengan rendah hati, dan mengambil tindakan korektif yang nyata dan terlihat. Jika tidak, gelombang demonstrasi yang “mirip Gerakan Reformasi 98” itu bukan lagi sekadar metafora, melainkan akan menjadi kenyataan pahit yang mengakhiri kepemimpinannya sebelum waktunya. Dinding kekuasaan telah retak, dan hanya akuntabilitas dan kinerja nyata yang dapat menyemennya kembali.