{"uid":"70185e5d-42fd-40c4-ad25-9707042a574f","fte_image_ids":[],"remix_data":[],"origin":"unknown","total_effects_time":0,"total_effects_actions":0,"total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"total_editor_time":4,"total_editor_actions":{},"photos_added":0,"effects_applied":0,"effects_tried":0,"longitude":-1,"latitude":-1,"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":false,"containsFTESticker":false,"tools_used":{}}
Editorial:
Di atas tanah yang subur, di antara birunya Teluk Tomini dan hijau pegunungan, Gorontalo menyimpan sebuah paradoks yang memilukan. Wilayah yang dijuluki “Serambi Madinah” ini masih menyandang status lain yang jauh dari kemuliaan: tetap bertengger dalam daftar sepuluh besar wilayah termiskin secara nasional. Ironi ini bagai dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, potensi alam dan budaya yang melimpah; di sisi lain, jerat kemiskinan yang belum terlepas. Namun, di tengah kondisi yang sudah genting ini, energi kolektif justru sering tersedot oleh dinamika yang paling kontra-produktif: konflik politik elit yang tiada henti.
jalan satu-satunya menuju kemajuan adalah dengan membangun kehidupan sosial yang damai dan harmoni, serta beralih ke politik yang diplomatis, meninggalkan sama sekali politik konflik yang hanya melahirkan anarki dan jalan di tempat.
Konflik politik di Gorontalo bukanlah debat sehat yang membangun. Ia telah menjelma menjadi siklus yang merusak, sebuah “polemik tak kunjung selesai” yang mengorbankan kepentingan dasar rakyat. Setiap gesekan elit di tingkat atas beresonansi ke bawah, memecah belah solidaritas kampung, mengotori hubungan kekerabatan, dan yang paling fatal, mengalihkan seluruh fokus dari agenda utama: memerangi kemiskinan. Sementara rakyat membutuhkan konsistensi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan, akses kesehatan, dan mutu pendidikan, mereka justru disuguhi drama politik yang menguras emosi dan sumber daya.
Di saat anak-anak di pelosok membutuhkan guru dan buku, anggaran dan perhatian mungkin justru terserap untuk mengelola konsekuensi konflik.
Dampak paling nyata dari politik yang tidak kondusif adalah terhambatnya denyut nadi perekonomian: investasi. Dalam konteks daerah yang masih berjuang seperti Gorontalo, investasi bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan vital. Ia adalah pembuka lapangan kerja, penggerak roda usaha lokal, dan pemasok penerimaan daerah. Namun, tidak ada investor yang rasional akan menanamkan modalnya di tengah suasana politik yang panas, tidak pasti, dan berpotensi anarkis. Mereka mencari stabilitas, kepastian hukum, dan iklim usaha yang nyaman. Konflik politik yang terus berkepanjangan mengirim sinyal bahaya bahwa daerah ini berisiko tinggi. Alhasil, peluang emas untuk menciptakan kemandirian ekonomi pun menguap, dan Gorontalo tetap bergantung pada skema-skema bantuan, terjebak dalam siklus kemiskinan yang sama.
Oleh karena itu, transisi menuju politik yang diplomatis dan harmonis adalah sebuah keniscayaan. Diplomasi di sini berarti kecerdasan untuk mengelola perbedaan dengan elegan, berdebat berdasarkan data dan gagasan untuk kebaikan bersama, serta mencari titik temu alih-alih memperuncing permusuhan. Politik harus kembali kepada khittahnya sebagai sarana pelayanan publik, bukan arena gladiator untuk memuaskan ambisi segelintir orang.
Elite politik Gorontalo ditantang untuk menunjukkan kedewasaan dengan menurunkan ego sektoral dan duduk bersama merumuskan peta jalan pembangunan yang berkelanjutan, yang melampaui batas masa jabatan.
Membangun harmoni sosial bukan berarti menuntut keseragaman pikiran. Justru, harmoni lahir dari kemampuan untuk hidup dalam keberagaman pendapat dengan dilandasi rasa saling hormat dan tujuan bersama yang lebih besar. Nilai-nilai kearifan lokal Gorontalo, seperti “Adati hula-hula’a to Sara’a, Sara’a hula-hula’a to Kuru’ani,” seharusnya menjadi panduan hidup bernegara. Prinsip yang menyatukan adat, syariat, dan iman ini mengajarkan keseimbangan dan integrasi, bukan pertentangan dan disintegrasi.
pilihan di tangan Rakyat Gorontalo. Apakah Gorontalo akan tetap berputar-putar dalam siklus konflik yang menguras tenaga dan menyia-nyiakan potensi, atau bangkit bersama menata ulang masa depan? Momentum untuk berubah adalah sekarang. Dengan menyadari bahwa kemiskinan adalah musuh bersama yang lebih nyata, seluruh komponen,elite politik, masyarakat sipil, akademisi, pemuda, Media dan masyarakat luas harus bersinergi.
Kita perlu mengalihkan energi dari ruang konflik ke ruang kreasi; dari politik saling jegal ke politik saling dukung; dari narasi permusuhan ke narasi pembangunan.
Hanya dengan politik yang teduh dan masyarakat yang bersatu, Gorontalo dapat menjadi rumah yang nyaman bagi warganya dan menarik bagi para investor. Hanya dengan demikian, status sebagai daerah termiskin dapat kita lepaskan, dan julukan “Serambi Madinah” benar-benar bersinar sebagai cerminan masyarakat yang tidak hanya religius, tetapi juga maju, adil, dan makmur. Saatnya menutup babak politik konflik dan membuka lembaran baru politik harmoni.