Di Aula Rumah Jabatan Gubernur, Jumat (3/10/2025), sebuah babak baru untuk menyelesaikan kisruh kelembagaan adat di Gorontalo mulai ditorehkan. Gubernur Gusnar Ismail, dengan nada tegas namun membangun, memaparkan sebuah jalan keluar dari polarisasi yang selama ini terjadi: pembentukan Forum Komunikasi Lembaga Adat di tingkat provinsi. Inisiatif ini merupakan rekomendasi final dari Kelompok Kerja (Pokja) Optimalisasi Kelembagaan Adat, yang menandai upaya serius pemerintah untuk mengakhiri dualisme antara Lembaga Adat dan Dewan Adat.
“Kita harus bereskan ini,” seru Gusnar, mengakui bahwa persaingan dan perebutan eksistensi antara kedua lembaga telah mengganggu operasionalisasi nilai-nilai adat itu sendiri. Daripada memperuncing perbedaan, ia menawarkan sebuah platform inklusif. “Tidak ada lagi Lembaga Adat provinsi, tidak ada lagi Dewan Adat. Kita tawarkan Forum Komunikasi,” jelasnya. Langkah ini secara cerdas membubuhkan garis akhir pada konflik kelembagaan dengan mengedepankan semangat persatuan.
Menurut Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik sekaligus Ketua Pokja, Masran Rauf, forum ini nantinya akan berfungsi sebagai wadah komunikasi, koordinasi, dan fasilitasi bagi pelestarian dan pengembangan adat budaya Gorontalo. Yang menarik, forum ini dirancang untuk mengakomodir “Buwatolo Towulongo” atau tiga serangkai adat—sebuah konsep tradisional yang mencerminkan kearifan lokal. Tiga pilar tersebut adalah “Buwatolo Bubato” (Pimpinan Daerah/Gubernur), “Buwatolo Syara’a” (Pegawai Agama), dan “Buwatolo Bala” (Personil Keamanan). Dengan struktur organisasi yang melibatkan pemangku adat dari seluruh kabupaten/kota, forum ini tidak hanya simbolis, tetapi juga representatif.
Rekomendasi Pokja juga mencakup langkah-langkah konkret, seperti merevisi Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Lembaga Adat, menerbitkan Peraturan Gubernur, serta menyesuaikan SK Gubernur Nomor 187/1/V/2023. Hal ini menunjukkan bahwa solusi yang dibangun tidak hanya bersifat sosiologis, tetapi juga memiliki fondasi hukum yang kuat.
Kebijakan ini mencerminkan visi Gusnar untuk mengembalikan adat pada khittahnya—sebagai pemersatu, bukan pemecah. Forum Komunikasi Lembaga Adat bukan sekadar tambal sulam birokrasi, melainkan sebuah ikhtiar untuk merajut kembali tenun adat Gorontalo yang sempat terkoyak. Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan roh budaya sebagai perekat masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagaimana konflik kelembagaan dapat diselesaikan dengan bijak melalui pendekatan yang menghargai kearifan lokal.