DI POSKO TERPADU Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Minggu malam, Presiden Prabowo Subianto menyetujui sebuah angka yang mungkin akan menentukan masa depan puluhan ribu keluarga: Rp 60 juta per rumah. Anggaran itu ditujukan bukan untuk relokasi, melainkan untuk memperbaiki atau membangun kembali rumah-rumah yang rusak dan hancur diterjang banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.hal ini adalah kebijakan presiden yang sangat baik untuk membantu setiap rumah tangga yang terkena bencana alam di Sumatra.
Keputusan itu lahir dari sebuah presentasi data yang pahit. Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, melaporkan setidaknya 37.546 rumah terdampak, dalam skala ringan, sedang, hingga berat—istilah “berat” di sini mencakup pula rumah yang “hilang kena sapu banjir”, sebuah frasa yang menggambarkan kerasnya kekuatan alam yang meluluhlantakkan.
Namun, di balik angka-angka statistik itu, tersimpan sebuah narasi kebijakan yang menarik. Pemerintah, melalui BNPB, tampaknya membaca sebuah kehendak kuat dari masyarakat: keengganan untuk direlokasi. “Kemudian yang tidak pindah, karena mungkin banjirnya, dampaknya tidak terlalu besar bagi keluarga itu sehingga tidak harus pindah,” ujar Suharyanto. Kalimat ini mengungkap sebuah realitas kompleks di lapangan. Relokasi seringkali bukan sekadar memindahkan fisik bangunan, tetapi memutus mata pencaharian, memisahkan dari lahan warisan, dan merombak tatanan sosial yang telah terbangun turun-temurun.
Oleh karena itu, skema yang diusulkan pun bersifat diferensial. Hunian sementara akan dibangun oleh Satgas TNI-Polri, hunian tetap oleh Kementerian PUPR, sementara rumah yang rusak tetapi pemiliknya memilih bertahan akan diperbaiki oleh satgas BNPB. Rp 60 juta per unit untuk hunian tetap adalah intinya. Saat Presiden bertanya, “Cukup?”, jawaban Suharyanto lugas namun terbuka: “Selama ini cukup, tetapi kalau memang Bapak Presiden ingin menambahkan kami lebih senang.” Sebuah dialog singkat yang mengisyaratkan negosiasi anggaran yang realistis di tengah keterbatasan.
Keputusan Presiden Prabowo ini patut dibaca sebagai pengakuan terhadap hak untuk tidak mengungsi. Dalam banyak kasus bencana, narasi besar seringkali mengarah pada pemindahan penduduk dari kawasan rawan. Namun, kebijakan ini justru memilih untuk memberdayakan korban di tanah mereka sendiri, dengan memberikan sumber daya untuk bangkit kembali. Ini adalah bentuk solidaritas yang berbeda: bukan memindahkan orang dari ancaman, tetapi membantu mereka membentengi diri di tempat yang mereka sebut rumah.
Tantangannya kini bergeser. Rp 60 juta harus dijamin ketepatannya sampai ke tangan yang membutuhkan. Pembangunan huntap harus mempertimbangkan konstruksi yang lebih tahan terhadap bencana di masa datang, agar bantuan ini tidak berputar menjadi siklus perbaikan yang tiada habisnya. Yang terpenting, bantuan ini harus dipandang sebagai satu bagian dari strategi mitigasi jangka panjang. Membangun kembali rumah saja tidak cukup tanpa disertai perbaikan tata ruang, reboisasi, dan sistem peringatan dini yang andal di kawasan rawan.
Angka Rp 60 juta itu akhirnya lebih dari sekadar nominal anggaran. Ia adalah simbol dari sebuah pilihan kebijakan: menghormati ikatan sosial-ekologis warga dengan tanah airnya, sambil mengemban tanggung jawab negara untuk melindungi. Keberhasilannya tidak akan diukur hanya oleh berdirinya dinding dan atap baru, tetapi oleh kemampuan komunitas tersebut bertahan—dengan lebih tangguh—dengan kehidupan di tanah yang sama, menghadapi keniscayaan alam di Nusantara.
Suharyanto mengatakan data itu belum final. Dia mengatakan pendataan masih dilakukan oleh BNPB bersama Kementerian Pekerjaan Umum.
Dia kemudian mengusulkan hunian sementara untuk pengungsi dibangun oleh anggota TNI dan Polri yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) penanggulangan bencana. Sementara, hunian tetap pembangunannya diserahkan kepada Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Kemudian yang tidak pindah, karena mungkin banjirnya, dampaknya tidak terlalu besar bagi keluarga itu sehingga tidak harus pindah, tetapi rumahnya rusak, kami perbaiki oleh satgas BNPB,” kata Suharyanto.
BNPB kemudian mengajukan anggaran bantuan Rp 60 juta per rumah pengungsi. Prabowo sempat bertanya apakah angka tersebut cukup untuk membangun hunian tetap.
“Ini hunian tetap anggaran Rp 60 juta cukup?” tanya Presiden ke Suharyanto.
“Selama ini cukup, tetapi kalau memang Bapak Presiden ingin menambahkan kami lebih senang,” kata Suharyanto.
Suharyanto mengatakan Rp 60 juta merupakan bantuan dari pemerintah. Dia mengatakan bantuan itu juga tak diberikan dalam bentuk uang, melainkan keperluan perbaikan rumah.
“Rp 60 juta karena tidak relokasi, Bapak. Nanti penerima bisa nambah dengan uangnya sendiri. Mungkin punya keluarga di kampung, punya anak yang punya gaji mau nambah, bisa. Tetapi, (kami) tidak (memberikannya) dalam bentuk uang, karena khawatir kalau bentuk uang jadi yang lain,” katanya.
Prabowo pun menyatakan setuju. Dia meminta anggaran itu dihitung lagi agar sesuai dengan kebutuhan.
“Oke, mungkin tentunya kita hitung kenaikan harga ya, inflasi, dan sebagainya,” ujar Prabowo.
Sementara untuk hunian sementara, anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 30 juta per rumah. Rumah yang dibangun berukuran 36 meter persegi lengkap dengan fasilitas kamar, sarana MCK, dan ruangan lainnya