Oleh: dulwahab MN. (Jurnalis Minahasa).
Reformasi 1998 membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Setelah lebih dari tiga dekade di bawah rezim yg cenderung otoriter, bangsa ini seolah kembali menemukan napas kebebasannya—kebebasan sipil yang selama ini terpasung, serta kebebasan berdemokrasi yang diekspresikan melalui kemunculan partai politik baru yang ramai bersaing dalam pemilu. Fenomena ini tidak terasa asing; ia seperti gema dari masa lalu, mengingatkan kita pada pemilu pertama Republik Indonesia tahun 1955. Saat itu, puluhan partai dengan beragam ideologi turut meramaikan kontestasi politik, menandai sebuah era di mana demokrasi bukan hanya prosedur, tetapi juga semangat.
Udara kebebasan pasca reformasi memang seharusnya merupakan satu paket yang utuh: kebebasan berdemokrasi berjalan beriringan dengan jaminan hak-hak sipil. Dalam konteks inilah, supremasi sipil menjadi amanat utama reformasi—sebuah koreksi total terhadap dominasi militer dalam politik. Menariknya, pemilu 1955 justru telah lebih dulu menunjukkan teladan tersebut. Pemilu yang kerap disebut sebagai yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia itu berlangsung tanpa intimidasi militeristik, dengan fokus pada pertarungan gagasan di ruang publik yang relatif terbuka. Inilah esensi yang seharusnya dipertahankan: demokrasi yang mencari kualitas, bukan sekadar kuantitas suara atau banyaknya partai peserta.
Pada tahun 1955, partai politik bukan hanya mesin pencari kekuasaan, melainkan juga wadah peradaban intelektual. Setiap partai umumnya memiliki sistem kaderisasi yang terstruktur, lengkap dengan sekolah partai dan kurikulum ideologi yang mendalam. Proses perkaderan diisi dengan diskusi, pelatihan, dan pengkajian pemikiran yang mendorong tumbuhnya wawasan intelektual. Tidak mengherankan jika dari rahim partai-partai saat itu lahir banyak tokoh yang tidak hanya piawai berpolitik, tetapi juga memiliki kedalaman berpikir—seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Sumtro dan Tan Malaka, yang meskipun tidak semua ikut pemilu, mewakili semangat era itu. Politik dan intelektualisme berjalan beriringan, menciptakan ekosistem demokrasi yang substansial.
Namun, pasca reformasi 1998 yang semakin ke arah depan, justru muncul pertanyaan yang menggelisahkan: quo vadis intelektualisme dalam politik Indonesia? Alih-alih mengembangkan tradisi intelektual yang pernah jaya, banyak partai politik saat ini menunjukkan gejala disorientasi. Politik lebih sering direduksi menjadi praktik pragmatis—pencarian kursi kekuasaan, transaksi suara, dan mobilisasi massa berbasis identitas. Yang lebih mengkhawatirkan, ada kecenderungan partai politik mengadopsi pola perkaderan semi-militer dalam pendidikan partainya? . Pelatihan dengan disiplin ketat, seragam seragam, hierarki komando, dan ritual fisik mulai menggantikan ruang diskusi, kajian ideologi, dan pembangunan argumentasi rasional.
Kondisi ini memang menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan. Ketika ada sebagian besar politik terlalu dekat dengan budaya militeristik, beberapa risiko besar mengintai.
Pertama, demokrasi berpotensi kehilangan ruhnya—yakni deliberasi dan kebebasan berpikir—dan berganti dengan budaya kepatuhan buta dan disiplin kaku. Kedua, supremasi sipil yang menjadi amanat reformasi bisa tergadaikan, karena mentalitas militeristik dalam partai dapat melahirkan elit politik yang otoriter dan tidak toleran terhadap perbedaan. Ketiga, partai politik akan kehilangan kemampuan untuk melahirkan pemikir dan negarawan yang visioner, karena kader-kadernya lebih terlatih untuk mengikuti perintah daripada berpikir kritis.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Indonesia perlu merevitalisasi semangat 1955—bukan dalam arti mengembalikan jumlah partai, tetapi dalam hal menempatkan kembali intelektualisme sebagai fondasi berpolitik. Partai politik harus kembali menjadi sekolah demokrasi, tempat di mana kader dididik untuk memahami ideologi, menganalisis masalah bangsa, dan membangun solusi berdasarkan penalaran kolektif. Negara juga perlu memperkuat sistem pendidikan politik publik yang inklusif, serta memastikan bahwa supremasi sipil benar-benar dijaga, termasuk dengan membatasi segala bentuk militerisasi dalam kehidupan sipil.
demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar kebebasan berkampanye atau banyaknya kontestan pemilu. Ia membutuhkan kedalaman berpikir, komitmen pada nilai-nilai sipil, dan keberanian untuk menolak segala bentuk budaya kekerasan—baik fisik maupun mental—dalam politik. Jika tidak, kita hanya akan menjalankan demokrasi sebagai ritual tanpa jiwa, dan angin kebebasan reformasi hanya akan menjadi kenangan, bukan realitas yang hidup dan bernalar.
Efek Negatif dan Risiko Dominasi Model Semi-Militer dalam Pendidikan Partai Politik
Dominasi model semi-militer dalam pendidikan partai politik bukan sekadar pergeseran metode pelatihan, melainkan suatu transformasi kultural yang mengikis fondasi demokrasi dari dalam. Model yang menitikberatkan pada disiplin kaku, hierarki vertikal, seragamitas, dan kepatuhan mutlak ini, pada permukaan, mungkin tampak efektif dalam menciptakan kader yang loyal dan terstruktur dalam jangka pendek. Namun, di balik efisiensi semu tersebut, tersimpan risiko jangka panjang yang mengancam vitalitas kehidupan politik nasional.
Pertama, model ini memiskinkan ruang kritis dan mematikan intelektualisme politik. Dengan menempatkan obedience (kepatuhan) di atas critical thinking (berpikir kritis), kader dilatih menjadi pelaksana perintah, bukan pemikir kebijakan. Tradisi diskusi, dialektika, dan pengkajian ideologi pun tergerus, mengubah partai dari wadah pemikiran menjadi barisan “prajurit politik”. Mereka mungkin lihai dalam manuver taktis, tetapi buta terhadap visi kebangsaan yang substantif. Politik pun bergeser dari arena pertukaran gagasan menjadi medan tempur yang gersang akan narasi.
Kedua, pendekatan ini menguatkan budaya politik yang otoriter dan anti-pluralisme. Mentalitas “kita versus mereka” yang dibangun melalui pendidikan semi-militer sangat berbahaya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kader dikondisikan untuk memandang perbedaan sebagai ancaman yang harus ditaklukkan, bukan sebagai keniscayaan yang perlu didialogkan. Nilai toleransi dan deliberasi—jiwa dari demokrasi—terpinggirkan. Selain itu, hierarki yang kaku melahirkan kepemimpinan yang tertutup, di mana suara dari basis diredam dan keputusan hanya menjadi monopoli elite puncak.
Ketiga, terjadi erosi terhadap supremasi sipil, sebuah prinsip fundamental pascareformasi. Ironisnya, ketika partai politik—yang seharusnya menjadi pilar demokrasi sipil—justru mengadopsi logika dan mentalitas militeristik, batas antara dunia sipil dan militer menjadi kabur. Praktik ini bukan hanya menghidupkan kembali bayangan rezim otoriter dalam format baru, tetapi juga secara sistematis dapat melemahkan kontrol sipil atas institusi militer itu sendiri.
Keempat, model kaku seperti ini menghasilkan kader yang rigid dan tidak adaptif. Dinamika politik kontemporer yang dipacu oleh perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi membutuhkan kelincahan berpikir dan kreativitas. Kader yang hanya terbiasa dengan “buku pedoman” dan instruksi standar akan gagap menghadapi kompleksitas masalah baru yang memerlukan solusi inovatif dan pemikiran lateral.
Kelima, pendidikan semi-militer berisiko mereproduksi kekerasan dan memicu konflik di akar rumput. Ketika kekerasan dinormalisasi sebagai alat penyelesaian masalah dalam pelatihan, kader dapat terbawa untuk menggunakan pendekatan konfrontatif—bahkan fisik—dalam berinteraksi dengan lawan politik atau mengelola massa. Hal ini mengancam stabilitas sosial dan mengubah demokrasi menjadi kompetisi berdasarkan intimidasi, bukan pertukaran argumentasi yang damai.
Keenam, fokus berlebihan pada disiplin fisik dan loyalitas buta mengabaikan pendalaman isu-isu substantif. Isu seperti keadilan sosial, hukum, ekonomi kerakyatan, HAM, dan lingkungan menjadi terpinggirkan. Akibatnya, partai kehilangan fungsi artikulasi dan representasinya; ia berubah menjadi mesin elektoral yang hampa substansi, tidak lagi mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan publik yang mendalam.
adopsi model semi-militer dalam pendidikan partai politik merupakan sebuah kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Model itu mengancam inti dari demokrasi itu sendiri: kebebasan berpikir, kompetisi gagasan yang sehat, penghormatan pada perbedaan, dan resolusi konflik secara damai. Partai politik harus kembali ke khittahnya sebagai “sekolah demokrasi” yang mencetak negarawan-cendekiawan, bukan sekadar “kamp pelatihan” yang menghasilkan “prajurit” politik. Menjaga politik agar tetap bersifat sipil, rasional, dan inklusif bukanlah sekadar pilihan, melainkan prasyarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi yang bermartabat dan berdaulat.
Jika Partai Politik Kehilangan Budaya Intelektual.
Ketika partai politik kehilangan budaya intelektual, ia mengalami degradasi eksistensial yang berbahaya. Ia bukan sekadar kehilangan tradisi akademis, melainkan melepaskan roh yang membuatnya relevan dalam dinamika zaman. Budaya intelektual—yang mencakup tradisi berpikir kritis, refleksi filosofis, pendalaman ideologi, dan kajian substantif—adalah fondasi yang mengubah partai dari sekadar mesin kekuasaan menjadi wadah peradaban politik. Tanpanya, partai terjatuh menjadi entitas kosong yang rentan terhadap berbagai penyakit demokrasi.
Pertama, partai akan kehilangan kemampuan navigasi strategis. Politik adalah seni sekaligus ilmu yang membutuhkan analisis mendalam atas realitas sosial, ekonomi, dan geopolitik. Tanpa budaya intelektual, partai hanya bergerak berdasarkan insting jangka pendek, reaksi emosional, atau tren populis semata. Ia gagal membaca perubahan struktural, mengartikulasikan visi jangka panjang, dan merumuskan solusi berbasis bukti dan kajian. Akibatnya, partai hanya menjadi pengekor, bukan pemimpin perubahan.
Kedua, politik akan didominasi oleh retorika kosong dan simbolisme tanpa substansi. Dalam absennya diskusi intelektual, ruang partai akan dipenuhi oleh jargon-jargon yang menggema namun hampa makna, politik identitas yang eksploitatif, dan janji-janji populis tanpa dasar kebijakan yang kokoh. Politik berubah menjadi pertunjukan atau spectacle yang dirancang untuk memenangkan perhatian media dan dukungan sesaat, bukan alat untuk merumuskan dan memperjuangkan agenda transformatif bagi publik.
Ketiga, regenerasi kepemimpinan akan melahirkan kader yang teknis namun tanpa kedalaman ideologis. Partai akan dipenuhi oleh kader yang cakap dalam manuver organisasi dan kampanye, tetapi tidak memiliki pijakan filosofis yang jelas tentang keadilan, kebebasan, atau kedaulatan rakyat. Mereka mungkin ahli dalam how to win power, tetapi gagap dalam menjawab what to do with power. Akibatnya, kepemimpinan politik tidak lagi melahirkan negarawan (statesman), melainkan hanya politisi teknis (technocrat) atau bahkan penguasa oportunistik.
Keempat, partai kehilangan fungsi artikulasi dan representasi yang autentik. Salah satu fungsi utama partai adalah menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan negara melalui perumusan gagasan. Tanpa budaya intelektual, partai tidak mampu menerjemahkan keluhan dan harapan warga menjadi agenda kebijakan yang koheren. Ia hanya menjadi corong kepentingan elite atau sekadar penyalur bantuan sosial (clientelism), bukan representasi ideologis atau aspirasi kolektif.
Kelima, demokrasi akan mengalami krisis legitimasi. Masyarakat akan semakin sinis melihat politik sebagai arena yang tidak menghasilkan solusi nyata, melainkan hanya permainan kekuasaan yang abai terhadap persoalan substantif. Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi perwakilan, justru dianggap sebagai bagian dari masalah. Hal ini dapat memicu apatisme politik massal, atau bahkan mendorong pencarian alternatif di luar sistem demokrasi yang dianggap gagal.
Terakhir, kehilangan budaya intelektual membuat partai rentan terhadap otoritarianisme dan dogmatisme. Ruang kosong yang ditinggalkan oleh nalar kritis akan dengan mudah diisi oleh doktrin kaku, kultus individu, atau kepatuhan buta. Partai menjadi organisasi yang tertutup, tidak toleran terhadap perbedaan internal, dan mudah dikendalikan oleh segelintir elite tanpa mekanisme kontrol yang rasional.
partai politik tanpa budaya intelektual adalah tubuh tanpa jiwa. Ia mungkin masih bisa berjalan, bahkan memenangkan pemilu, tetapi ia telah kehilangan alasan mendasar keberadaannya dalam demokrasi. Revitalisasi budaya intelektual bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak. Partai harus kembali menjadi ruang di mana gagasan diperdebatkan, kebijakan dikaji, dan masa direncanakan dengan nalar kolektif. Hanya dengan demikian, politik dapat kembali menjadi the art of the possible—seni mewujudkan kemungkinan yang lebih baik berdasarkan pikiran, bukan hanya insting atau kekuatan.