Editorial:
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas dan kredibel tidak hanya dituntut untuk mampu mengelola tahapan pemilu secara administratif, tetapi juga harus mencerminkan prinsip keterwakilan dan keadilan gender dalam komposisi keanggotaannya. Sayangnya, formasi Komisioner KPU Kota Gorontalo saat ini menjadi sorotan tajam karena tidak memiliki satupun perwakilan perempuan. Kondisi ini bertolak belakang dengan idealnya tata kelola demokrasi yang inklusif, di mana suara dan perspektif perempuan sangat krusial untuk menghasilkan kebijakan yang sensitif gender dan mengakomodir kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Kekosongan ini terasa semakin ironis mengingat Indonesia telah memiliki sejumlah landasan hukum yang menguatkan pentingnya peran perempuan dalam politik, seperti Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mendorong peningkatan partisipasi perempuan. KPU sebagai lembaga yang mengusung semangat demokrasi seharusnya menjadi role model dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, bukan justru abai.
Momentum untuk memperbaiki kondisi ini kini terbuka lebar. Dengan adanya proses Pergantian Antar Waktu (PAW) akibat salah satu komisioner yang diberhentikan karena masalah hukum pidana, peluang untuk mengoreksi ketimpangan gender ini hadir secara nyata. Dalam daftar calon pengganti, terdapat nama calon dari kaum perempuan. Kehadirannya dalam daftar calon bukan sekadar memenuhi kuota formalitas, melainkan sebuah jawaban atas kegelisahan publik yang menginginkan kepemimpinan KPU yang lebih representatif.
Harapan masyarakat, pengamat demokrasi, dan para pemerhati pemilu agar calon perempuan tersebut yang terpilih adalah wujud kesadaran kolektif akan tiga hal mendasar. Pertama, keadilan substantif. Keterwakilan perempuan memastikan bahwa kebijakan dan keputusan KPU tidak hanya dilihat dari kacamata laki-laki semata. Isu-isu seperti perlindungan terhadap pemilih dan calon perempuan, pencegahan kekerasan berbasis gender selama kampanye, serta fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas perempuan seringkali membutuhkan perspektif yang hanya dapat dihadirkan secara utuh oleh seorang perempuan.
Kedua, legitimasi sosial. KPU Kota Gorontalo yang saat ini sedang dalam fase memulihkan kepercayaan publik pasca skandal hukum, membutuhkan langkah restoratif yang bermakna. Memilih komisioner perempuan adalah sinyal kuat bahwa lembaga ini serius melakukan transformasi internal menuju tata kelola yang lebih inklusif dan akuntabel. Langkah ini akan mengembalikan keyakinan masyarakat bahwa KPU benar-benar milik semua rakyat, termasuk perempuan.
Ketiga, pemenuhan mandat inklusivitas. Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang jumlah pemilih, tetapi juga tentang siapa yang duduk di meja pengambil keputusan. Dengan mengisi posisi yang lowong dengan komisioner perempuan, KPU RI tidak hanya menyelesaikan masalah keanggotaan, tetapi juga secara aktif membangun narasi bahwa ruang publik dan politik adalah hak bagi semua gender.
Oleh karena itu, pilihan yang dihadapi oleh KPU RI dalam proses PAW ini adalah pilihan antara melanjutkan status quo yang timpang atau mengambil lompatan strategis untuk memperkuat demokrasi lokal. Mengabaikan suara masyarakat dan harapan para pengamat untuk memilih calon perempuan bukan hanya sebuah peluang yang terbuang, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap prinsip keadilan gender.
momentum PAW di KPU Kota Gorontalo adalah ujian nyata bagi komitmen KPU RI terhadap demokrasi inklusif. Mengisi kekosongan komisioner dengan calon perempuan bukan sekadar tentang memenuhi angka, melainkan tentang mengisi makna. Ini adalah langkah konkret untuk membangun KPU yang lebih representatif, responsif terhadap kebutuhan seluruh pemilih, dan pada akhirnya, memperkokoh fondasi demokrasi kita dari akar rumput. Saatnya KPU RI mendengarkan gemuruh harapan dari Gorontalo dan memilih calon yang tidak hanya menggantikan seorang individu, tetapi juga merepresentasikan separuh dari masa depan bangsa.