Editorial:
Dalam dinamika politik Gorontalo, figur Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson Yapanto, menawarkan sebuah narasi ketabahan yang patut direnungkan. Perjalanan karir politiknya tidak luput dari gelombang kritik dan serangan di media yang dilancarkan oleh lawan-lawan politiknya. Namun, respons Mikson terhadap semua itu justru mencerminkan kedewasaan berdemokrasi. Alih-alih membalas atau memprotes pemberitaan yang menjatuhkan, ia memilih untuk menghargai proses demokrasi, di mana kebebasan berekspresi dan kebebasan pers adalah bagian yang tak terpisahkan. Sikap ini menunjukkan pemahaman bahwa ruang publik, termasuk media, adalah arena tempat berbagai wacana—termasuk yang keras dan kritis—harus dihadapi dengan kepala dingin.
Lanskap peristiwa berubah ketika Mikson Yapanto mengalami eskalasi kekerasan yang nyata: persekusi dan intimidasi. Pada titik inilah, fenomena menarik terjadi. Banyak media yang mulai membela dan menyoroti ketidakadilan yang menimpanya. Peristiwa kekerasan fisik ini, yang disaksikan oleh banyak orang dan terekam sebagai bukti visual, telah mengubah narasi. Fakta yang kasat mata dan sulit dibantah ini memaksa semua pihak, termasuk media, untuk melihat persoalan dengan kacamata yang lebih jernih. Transisi pemberitaan dari yang sebelumnya mungkin bias, menjadi lebih membela korban, menggarisbawahi sebuah prinsip dasar jurnalisme: pemberitaan harus apa adanya dan berimbang.
Peristiwa yang menimpa Mikson Yapanto ini menjadi cermin bagi kita semua tentang betapa crucialnya keadilan informasi. Sebelumnya, opini publik mungkin mudah diarahkan oleh narasi-narasi media yang tidak berimbang. Namun, ketika sebuah fakta keras—seperti kekerasan fisik—muncul ke permukaan, ia bertindak sebagai koreksi terhadap realitas informasi yang bias. Inilah momen di mana kita sebagai rakyat harus belajar dan mulai memahami arti sesungguhnya dari keadilan informasi yang didasarkan pada fakta umum. Informasi bukan lagi sekadar komoditas politik, melainkan fondasi bagi tegaknya keadilan itu sendiri.
Kisah Mikson Yapanto, dari sasaran pemberitaan negatif hingga menjadi korban yang dibela, adalah sebuah pelajaran demokrasi yang berharga. Ia mengajarkan bahwa menghargai kebebasan berpendapat adalah sikap terpuji, tetapi kebebasan itu harus diimbangi dengan tanggung jawab, terutama dari pihak media. Masyarakat pun dituntut untuk semakin cerdas dan kritis. Mereka harus mampu membedakan antara opini yang dihembuskan untuk menjatuhkan dan fakta empiris yang tak terbantahkan. Pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh dalam ekosistem informasi yang adil, di mana kebenaran faktual menjadi pemandu utama, bukan kepentingan sempit atau narasi yang dipaksakan.