Editorial:
Sebuah kabar pilu dan video yang menyayat hati menyebar bagai virus di tengah masyarakat Gorontalo. Gambar yang memperlihatkan Anggota DPRD Provinsi mereka, Mikson Yapanto, dugaan dikeroyok dan dipersekusi, bukan hanya menjadi headline berita, tetapi menjadi luka kolektif di hati rakyat. Peristiwa ini terasa sebagai sebuah tamparan keras, sebuah noda yang mengotori citra Gorontalo yang selama ini dikenal sebagai tanah yang menjunjung tinggi adat sopan santun dan nilai-nilai agama Islam yang luhur, bahkan bergelar dengan penuh hormat sebagai “Serambi Madinah”.
Gelar “Serambi Madinah” itu bukan sekadar hiasan. Ia adalah sebuah janji kultural dan spiritual tentang sebuah masyarakat yang beradab, yang menyelesaikan perselisihan dengan musyawarah, yang menghormati sesama, dan yang menjunjung tinggi martabat. Aksi kekerasan dan persekusi yang menimpa salah satu putra terbaiknya ini dengan demikian bukan hanya sebuah kejahatan biasa, melainkan sebuah pengingkaran terhadap jati diri Gorontalo sendiri. Rasa malu, marah, dan sedih bercampur aduk dalam dada banyak orang Gorontalo. Mereka marah karena keadilan dan harga diri dilecehkan, sedih karena nama baik tanah kelahiran mereka yang damai dan aman ternodai oleh aksi barbar segelintir orang.
Di balik gelombang emosi ini, terdapat sebuah prinsip demokrasi yang fundamental yang telah dilukai. Mikson Yapanto tidak hadir di kursi dewan dengan sendirinya. Ia ada di sana karena dipilih Rakyat, didukung, dan dipercaya oleh rakyat Gorontalo. Suara rakyatlah yang mengantarkannya pada posisi sebagai anggota DPRD.
Dalam kerangka ini, Mikson Yapanto adalah lebih dari sekadar seorang individu; ia adalah simbol dan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat yang menyuarakan pilihannya.
Oleh karena itu, mem Persekusi dan meng intimidasi serta Menganiaya Mikson Yapanto pada hakikatnya adalah sebuah pengkhianatan berganda terhadap Rakyat Gorontalo. Pertama, itu adalah pengkhianatan terhadap proses demokrasi, di mana suara rakyat diinjak-injak dan wakil yang mereka pilih diserang. Kedua, dan yang lebih mendalam, itu adalah pengkhianatan terhadap rakyat Gorontalo sendiri.
Setiap intimidasi dan persekusi yang diterima Mikson adalah kekerasan terhadap harga diri Rakyat yg Memilihnya serta Rakyat Gorontalo pada umumnya.setiap hinaan yang ditujukan padanya adalah hinaan terhadap keputusan kolektif masyarakat yang memilihnya. Aksi ini dengan jelas menyakiti rakyat, karena ia merampas rasa aman dan kepercayaan mereka terhadap sistem yang seharusnya melindungi wakil-wakil mereka.
Peristiwa memilukan ini harus menjadi momentum refleksi bagi seluruh elemen masyarakat Gorontalo untuk kembali merawat makna “Serambi Madinah” yang sejati, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam tindakan nyata untuk menolak segala bentuk kekerasan dan menghormati mandat yang diberikan oleh suara rakyat. Membela martabat Gorontalo berarti menuntut proses hukum yang adil atas peristiwa ini, sekaligus menegaskan kembali bahwa kedaulatan rakyat adalah harga mati yang tidak boleh dinistakan oleh siapapun. Sebab, menyakiti wakil rakyat sama halnya dengan menyakiti rakyat itu sendiri, dan itu adalah luka yang harus disembuhkan demi mengembalikan marwah Gorontalo sebagai negeri yang beradab.