Di aula rumah jabatan Gubernur Gorontalo, Kamis (2/10/2025), udara tidak hanya dihirup, tetapi juga diwarnai oleh tensi kepentingan yang telah lama mengendap. Di satu sisi duduk para petani, penyedia nira kehidupan bagi Pabrik Gula (PG) Gorontalo. Di sisi lain, perwakilan pabrik, pengolah hasil bumi yang menjadi ujung tombak industri. Di antara mereka, duduk Gubernur Gusnar Ismail dan Direktur Jenderal Perkebunan Abdul Roni Angkat, bukan sebagai atasan, melainkan sebagai mediator dalam sengketa harga tebu yang meruncing.
Akar persoalannya ternyata terletak pada sebuah kekosongan dalam birokrasi: Surat Dirjen Perkebunan Nomor B-853/KB.110/E/07/2025 yang menetapkan Harga Pokok Pembelian (HPP) tebu Rp660.000 per ton untuk Gorontalo. Meski tertanggal 21 Juli 2025, surat itu bungkam tentang kapan harga itu seharusnya berlaku. PG Gorontalo bersikukuh memberlakukannya sejak tanggal surat. Sementara itu, para petani, dengan logika yang berdarah-daging, menuntut keadilan retrospektif: harga itu harus berlaku sejak musim giling dimulai pada Januari 2025, periode di mana keringat mereka telah tumpah.
Dalam kebuntuan ini, Abdul Roni Angkat turun tangan dengan keputusan yang tegas dan final. â21 Juli ke atas pakai harga Rp660 ribu per ton, yang ke bawah nggak usah diungkit lagi,â tegasnya. Keputusan ini, meski terasa pahit di lidah petani untuk periode sebelumnya, adalah sebuah garis demarkasi yang diperlukan. Ia menghentikan debat yang bisa berlarut-larut dan memutus untuk “mengevaluasinya ke depan, nggak mungkin ke belakang.” Sebuah pilihan pragmatis untuk menyelamatkan masa depan, meski dengan mengubur tuntutan masa lalu.
Namun, bagi Gubernur Gusnar Ismail, resolusi teknis tentang harga bukanlah akhir dari segalanya. Ia melihat lebih dalam, pada penyakit yang mendasari perseteruan ini: pola komunikasi yang rusak. Dengan kebijaksanaan seorang bapak yang mendamaikan anaknya yang berselisih, Gusnar menekankan bahwa petani dan PG adalah mitra simbiosis. âPG tidak bisa tanpa petani, sebaliknya petani juga tidak bisa apa-apa kalau tidak ada pabrik gula,â ujarnya.
Pernyataan itu adalah inti dari esai konflik ini. Gusnar tidak hanya memediasi sengketa harga; ia merajut kembali benang silaturahmi yang nyaris putus. Momentum ini, baginya, adalah fondasi untuk membangun komunikasi yang lebih baik, di mana ia berjanji akan terus memfasilitasi.
Kesepakatan Rp660.000 per ton pada hari itu adalah sebuah kemenangan diplomasi. Namun, warisan yang lebih berharga dari pertemuan itu adalah pengakuan bahwa industri gula lokal tidak akan pernah manis jika dijalankan oleh hubungan yang pahit. Kini, tugas bersama adalah memastikan bahwa kesepakatan di aula itu tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga terasa di kebun tebu dan di lorong-lorong pabrik.