Sebuah babak penting dalam dialektika demokrasi lokal terukir di Jakarta, Selasa (16/9/2025). Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, membuktikan bahwa janji politik bukanlah retorika semata. Dengan membuka ruang seluas-luasnya, ia memfasilitasi perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo (UNG) untuk menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Momen ini adalah puncak dari sebuah proses yang berawal dari semangat kritis anak muda di jalanan, yang kemudian direspons dengan kematangan oleh pemimpin daerah.
Kilas balik ke 1 September 2025, suasana di Bundaran Hulonthalo Indah diwarnai oleh suara lantang mahasiswa yang menyuarakan tuntutan mereka. Saat itu, Gubernur Gusnar, bersama Wakil Gubernur, Kapolda, dan Ketua DPRD Provinsi, hadir langsung di tengah-tengah massa. Kehadiran mereka bukan untuk meredam, melainkan untuk mendengar. Dan yang terpenting, mereka tidak sekadar mendengar—mereka berjanji. Janji untuk menjadi jembatan yang menghubungkan suara anak muda Gorontalo dengan pusat kebijakan nasional.
“Alhamdulillah, semua aspirasi mahasiswa disampaikan langsung di hadapan pak Menteri,” ujar Gusnar setelah pertemuan yang berlangsung selama 1,5 jam itu. Kalimat sederhana ini mengandung makna yang dalam: sebuah akuntabilitas pemimpin terhadap komitmen yang telah dibuatnya. Dalam politik Indonesia, seringkali janji pertemuan dengan pusat hanya menjadi penghibur di tengah aksi, namun dalam peristiwa ini, janji itu ditunaikan dengan sungguh-sungguh.
Respon Mendagri Tito Karnavian pun mencerminkan penghargaan terhadap proses demokrasi yang elegan. “Terima kasih atas aspirasinya. Saya menghargai aspirasinya dan akan saya sampaikan langsung ke bapak Presiden,” ujarnya. Pernyataan ini bukan sekadar formalitas birokratik, melainkan pengakuan bahwa aspirasi yang disalurkan melalui jalur yang konstruktif memiliki tempat dan nilainya sendiri. Kehadiran pejabat tinggi seperti Sekjen Kemendagri dan Irjen Kemendagri dalam pertemuan tersebut semakin menegaskan keseriusan pemerintah pusat dalam menampung keluhan dan gagasan dari daerah.
Apa yang terjadi antara Jakarta dan Gorontalo ini adalah sebuah model ideal dari tata kelola pemerintahan yang responsif. Mahasiswa menyampaikan aspirasi secara damai, pemerintah daerah hadir dan mendengarkan, lalu menjadi mediator yang efektif, dan pemerintah pusat merespons dengan membuka pintu dialog. Seluruh proses ini berjalan tanpa kekisruhan, justru dengan semangat kolaborasi untuk kemaslahatan bersama.
Pada akhirnya, peristiwa ini mengajarkan bahwa kepercayaan (trust) antara pemerintah dan warganya, khususnya generasi muda, dibangun bukan dengan kata-kata manis, melainkan dengan tindakan nyata. Gusnar Ismail dan jajarannya tidak hanya berhasil menyalurkan aspirasi, tetapi juga mengukuhkan sebuah preseden bahwa suara anak muda adalah bagian tak terpisahkan dari pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Dalam narasi besar demokrasi Indonesia, momen ini adalah pengingat bahwa ketika saluran aspirasi dibuka dan dihormati, maka energi kritis pemuda dapat diubah menjadi modal sosial yang berharga bagi kemajuan bangsa.