Sebuah komitmen baru untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan beragama di tingkat provinsi ditegaskan oleh Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail. Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Djabbal Muhsinin, Kompleks Gubernuran, Kamis (11/9/2025), Gusnar secara terbuka mengakui bahwa agenda-agenda keislaman sempat terabaikan oleh kesibukan pemerintahan.
“Dikalangan kita ada yang bertanya-tanya,” ujarnya dengan sikap terbuka, “seumur-umur berapa tahun ini tidak pernah melaksanakan peringatan ini. Saya terus terang, memang nampaknya pemerintah provinsi Gorontalo ini, mungkin karena saking sibuknya, peringatan hari-hari besar Islam ini luput dari agenda kegiatan.”
Pengakuan jujur ini justru menjadi dasar bagi sebuah langkah maju. “Tidak ada kata terlambat,” tegasnya, “ketika teringat kita bikin.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah deklarasi untuk mengembalikan ruh spiritual dalam tata kelola pemerintahan.
Dua Dimensi Ibadah: Spiritual dan Sosial
Bagi Gusnar, perayaan hari besar Islam memiliki dimensi ganda yang tak terpisahkan. Di satu sisi, ia adalah manifestasi kecintaan kepada Rasulullah SAW dan wahana untuk merefleksikan nilai-nilai akhlakul karimah dalam kehidupan. Di sisi lain, ia berfungsi sebagai spirit dalam beribadah, khususnya dalam menjalankan tugas pokok sebagai abdi dan pelayan rakyat.
Dengan kata lain, semangat keagamaan yang ditumbuhkan dalam perayaan-perayaan ini diharapkan tercermin dalam integritas, kejujuran, dan dedikasi para aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat.
Dari Majelis Taklim ke Penggerak Ekonomi Umat
Yang membuat pendekatan Gusnar istimewa adalah cara pandangnya yang holistik terhadap peran agama dalam masyarakat. Ia melihat geliat ratusan majelis taklim yang kini bermekaran di Gorontalo—yang diperkirakan mencapai 100 hingga 200 kelompok—bukan hanya sebagai pusat spiritual, tetapi juga sebagai potensi ekonomi yang luar biasa.
“Bayangkan kalau dia memiliki lima seragam, maka ada sekian ribu UMKM yang laku, khusus untuk majelis taklim ini,” ujarnya, menggambarkan dengan contoh yang konkret.
Dalam perspektif ini, perayaan keagamaan yang ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya tidak lagi sekadar menjadi agenda seremonial. Ia bertransformasi menjadi motor penggerak ekonomi kreatif berbasis komunitas, dimana nilai-nilai ukhuwah Islamiyah sejalan dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Simpul-Simpul Kebangkitan
Peringatan Maulid yang sederhana namun penuh makna itu—dengan doa, dzikir, dan ceramah hikmah dari Sofyan Kau dari IAIN Sultan Amai Gorontalo—menjadi titik tolak bagi sebuah gerakan yang lebih besar.
Kebijakan Gusnar ini pada hakikatnya sedang merajut simpul-simpul kebangkitan yang terintegrasi: menyatukan kembali spiritualitas dalam pemerintahan, mentransformasi nilai-nilai keagamaan menjadi etos kerja, dan memberdayakan komunitas keagamaan sebagai pilar ketahanan sosial dan ekonomi umat.
Inilah esensi dari perayaan hari besar Islam yang ingin diwujudkan: sebuah harmoni dimana ibadah ritual dan sosial, serta semangat keagamaan dan entrepreneurship, berjalan beriringan untuk kemaslahatan umat yang lebih luas.