Sebuah pengantar yang sederhana, namun sarat makna, terjadi di dua kelurahan di Gorontalo, Rabu (10/9/2025) lalu. Di Kelurahan Dutulanaa dan Hepuhulawa, Gubernur Gusnar Ismail hadir tidak hanya sebagai pemimpin daerah, tetapi sebagai penjaga sebuah janji kolektif: bahwa tidak ada seorang pun warga yang boleh terjatuh karena ketiadaan beras di dapurnya.
Secara total, 395 keluarga menjadi penerima bantuan beras Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) ini. Masing-masing membawa pulang 10 kilogram beras—sebuah angka yang dalam kalkulasi rumah tangga sederhana, bisa berarti jaminan untuk beberapa hari ke depan di tengah harga beras yang masih berkisar di Rp16-17 ribu per kilogram. Bantuan ini bukanlah sekadar transfer komoditas, melainkan sebuah upaya konkret untuk menopang daya beli keluarga-keluarga yang paling merasakan denyut nadi kenaikan harga.
Pesan Gubernur Gusnar, “Mohon bantuan ini diterima dengan baik,” terdengar sederhana, namun di dalamnya terkandung sebuah strategi sosial-ekonomi yang lebih luas. Harapannya, dengan bantuan langsung ini, tekanan permintaan beras di pasar akan berkurang, yang pada akhirnya mendorong harga untuk turun dan stabil. Ini adalah upaya meredam gejolak ekonomi dari level yang paling dasar: dapur warga. Pernyataannya bahwa “stok beras pemerintah banyak” bukan hanya untuk menenangkan, tetapi juga sebagai sinyal untuk mencegah spekulasi dan kepanikan yang kerap memicu kenaikan harga lebih lanjut.
Namun, mungkin pesan yang paling menyentuh adalah permintaannya agar warga tetap semangat berusaha dan tidak hanya bergantung pada bantuan. “Yakinlah pemerintah akan selalu ada di tengah masyarakat,” ujarnya. Kalimat ini membingkai hubungan yang sehat antara negara dan warganya. Bantuan pangan bukanlah bentuk patronase, melainkan sebuah jaring pengaman sosial yang memungkinkan warga untuk tetap berdiri dan melanjutkan ikhtiarnya tanpa beban kelaparan. Pemerintah hadir bukan untuk membuat warga pasif, tetapi justru untuk memberi mereka fondasi agar dapat kembali aktif berkarya.
Pada hakikatnya, penyaluran beras CPP ini adalah sebuah esai sosial tentang ketahanan. Ia bercerita tentang upaya mewujudkan ketahanan pangan keluarga, yang merupakan pondasi dari ketahanan sosial sebuah komunitas. Dalam setiap karung beras yang disalurkan, terkandung upaya mengatasi kerawanan pangan dan menanggulangi kemiskinan secara langsung.
Hari itu di Dutulanaa dan Hepuhulawa, beras menjadi lebih dari sekadar sumber karbohidrat. Ia adalah simbol solidaritas, sebuah penanda bahwa dalam menghadapi gejolak ekonomi, tidak ada yang berjuang sendirian. Pemerintah, dengan segala keterbatasannya, berusaha hadir memastikan bahwa di dapur-dapur warga, nasi tetap bisa mengepul—sebuah harapan paling dasar yang menopang segala bentuk cita-cita yang lebih tinggi.