Sabtu yang cerah di Suwawa (6/9/2025) menjadi sakal sebuah gerakan nyata. Bukan hanya sekadar acara serah-terima biasa, tapi momen di mana kebijakan turun langsung menjamah tanah dan menyentuh kehidupan. Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, hadir bukan hanya sebagai pemimpin yang menyerahkan paket bantuan, melainkan sebagai bagian dari solusi kolektif menghadapi sebuah tantangan bersama: harga beras yang terus merangkak naik.
Ada yang menarik dari pernyataan Pak Gubernur hari itu. Dengan bahasa yang lugas dan akrab, ia menjelaskan logika sederhana namun penuh makna di balik bantuan ini. “Ini apa maksudnya?” tanyanya, retoris. Jawabannya adalah sebuah strategi ketahanan pangan yang manusiawi: dengan memastikan akses pangan melalui bantuan langsung, tekanan permintaan di pasar bisa berkurang, dan pada akhirnya harga beras diharapkan bisa berangsur turun. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa stabilitas harga tidak hanya tentang angka di gudang Bulog, tetapi juga tentang daya beli dan keamanan psikologis masyarakat.
Angka-angkanya mungkin terlihat sederhana: 397 keluarga di dua desa, masing-masing menerima 5 kg beras, 2 liter minyak, 10 butir telur, dan 1 kg gula. Namun, dalam konteks kehidupan sehari-hari, paket ini bukan hanya sekadar barang. Ia adalah sebuah penanda bahwa dalam gelombang kesulitan, tidak ada yang berjuang sendirian. Ia adalah pengganti kekhawatiran akan “maghrib tanpa nasi” dengan sedikit kepastian untuk esok hari.
Dan kepastian itulah yang coba ditegaskan kembali oleh Pak Gubernur. Dengan menyebut adanya pesan-pesan keresahan yang beredar di “handphone,” ia menyentuh realitas komunikasi kita yang paling personal. Lalu, ia menjawabnya bukan dengan janji kosong, melainkan dengan data: stok 3.300 ton beras siap didistribusikan hingga akhir tahun. Ini adalah upaya untuk meredam gelombang panik dengan fondasi fakta yang kokoh.
Namun, mungkin poin yang paling membesarkan hati adalah asal-usul bantuan ini. Ini bukan program yang turun dari atas begitu saja. Gusnar dengan jelas menyatakan bahwa inisiatif ini berawal dari aspirasi yang didengar dari DPRD, Bupati, dan perangkat desa. Dalam narasi ini, bantuan pangan bukanlah “hadiah” dari pemerintah, melainkan sebuah “jawaban” atas jeritan yang didengar. Ia adalah buah dari sebuah proses demokrasi yang bekerja sebagaimana mestinya: dari bawah ke atas.
Pada akhirnya, hari itu di Suwawa bercerita tentang lebih dari sekadar penanggulangan rawan pangan. Ia bercerita tentang sebuah jaring pengaman yang ditenun bersama antara pemerintah dan warganya. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah fluktuasi ekonomi dan angka statistik, yang paling utama adalah memastikan bahwa tidak ada satu pun keluarga yang terpaksa menelan kepahitan kelaparan. Sebab, ketahanan sebuah bangsa dimulai dari piring-piring yang terisi di setiap rumah tangganya.
—