Di sebuah gudang distributor pupuk di Kecamatan Limboto, Gorontalo, debu butiran urea menari-nari diterpa cahaya matahari. Di antara tumpukan karung yang tersusun rapi, berdirilah para wakil rakyat, bukan sebagai pengawas yang jauh, melainkan sebagai pihak yang hadir untuk mendengar denyut nadi rantai pasok pupuk—nadi yang menentukan hidup mati sektor pertanian di daerah itu.
Kunjungan kerja Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo beberapa waktu lalu memang bukan yang pertama, namun ia mewakili sebuah esensi: fungsi pengawasan legislatif yang bergerak dari ruang sidang yang steril menuju lapangan yang kompleks. Di sini, di gudang distributor, kebijakan pupuk bersubsidi diuji bukan hanya pada angka-angka di atas kertas, tetapi pada kemampuan sistem menopang seluruh mata rantainya.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Ridwan Monoarfa, dengan suara lantang namun penuh pertimbangan, menyampaikan sebuah prinsip penting: “Kami tidak hanya memastikan pupuk tersedia untuk petani, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi distributor dan kios yang menyangkut hidup banyak orang.” Kalimat ini bukan sekadar pernyataan politis, melainkan pengakuan bahwa keberlanjutan sistem distribusi pupuk bergantung pada keberlangsungan hidup setiap pelakunya.
Terdapat tiga tantangan utama yang coba dijawab oleh DPRD melalui pendekatan holistiknya. Pertama, persoalan mekanisme kompensasi. Bagaimana melindungi distributor dan kios dari kerugian akibat stok lama ketika kebijakan harga baru diterapkan? Ini adalah persoalan keadilan yang sering terabaikan dalam transisi kebijakan. Kedua, ketepatan sasaran. Pupuk bersubsidi harus sampai ke tangan yang tepat, dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat. Ketiga, pengawasan berkelanjutan yang tidak hanya reaktif tetapi preventif.
Langkah-langkah konkret yang telah diinisiasi—koordinasi rutin, pembentukan tim pemantau, sosialisasi mekanisme pengaduan, dan evaluasi kuota—menunjukkan sebuah kesadaran bahwa pengawasan tidak cukup hanya dengan datang dan mengecek. Dibutuhkan sistem yang terintegrasi, melibatkan semua pemangku kepentingan, dari tingkat dinas terkait hingga asosiasi distributor dan kelompok tani.
Komitmen Ridwan untuk “menciptakan ekosistem distribusi pupuk yang berkeadilan” menggemakan sebuah paradigma baru dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Bukan lagi pendekatan sektoral yang memisahkan kepentingan petani dengan distributor, melainkan pendekatan ekosistem yang melihat mereka sebagai bagian dari satu kesatuan yang saling bergantung.
Ke depan, jalan yang harus ditempuh masih panjang. Penguatan regulasi daerah dan sinergi dengan aparat pengawasan menjadi keniscayaan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Namun, yang patut diapresiasi adalah perubahan pendekatan dari sekadar pengawasan administratif menuju pendampingan dan pembangunan sistem.
yang diperjuangkan DPRD Gorontalo dalam pengawasan distribusi pupuk ini bukan sekadar memastikan ketersediaan pupuk, melainkan membangun ketahanan sebuah sistem. Sebuah sistem yang tidak hanya menjamin pupuk sampai di tangan petani, tetapi juga menjamin sustainability seluruh mata rantai—dari produsen, distributor, kios, hingga petani. Inilah esensi ketahanan pangan yang sesungguhnya: ketika setiap unsur dalam sistem pangan dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, menopang satu sama lain seperti ekosistem yang sehat.