Oleh: Dulwahab (jurnalis Sulawesi).
Pada Selasa, 4 November 2025, gelombang kejutan mengguncang peta politik Amerika Serikat. Partai Republik mengalami kekalahan telak dalam serangkaian pemilukada krusial di beberapa negara bagian penting. Kekalahan ini bukan sekadar pergantian kekuasaan biasa, melainkan sebuah cermin dari pergeseran sentimen pemilih yang signifikan, yang dipercepat oleh bayang-bayang government shutdown yang sempat melumpuhkan fungsi pemerintah federal.
kejalahan ini memperlihatkan pengaruh Donald Trump sebagai magnet politik telah memudar atau Rontok. Kekalahan para kandidat yang dekat dan di dukung Donald Trumph itu tidak hanya menjadi pukulan bagi platform Partai Republik, tetapi juga menjadi pengukir batu nisan bagi era dominasinya atas partai. Dikabarkan Trump marah besar dengan hasil ini, sebuah kemarahan yang justru menggarisbawahi isolasi politiknya yang kian nyata.
New York: Sejarah Baru Ditorehkan, Narasi Lama Dipatahkan
Di Kota New York, sebuah kemenangan bersejarah mengubah lanskap politik lokal. Zohran Mamdani, kandidat Partai Demokrat, berhasil meraup 50,5% suara dan mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, Curtis Sliwa, serta mantan Gubernur Andrew Cuomo yg didukung Zjuga oleh Trumph yang berlaga dari jalur calon independen.
Pada usia 34 tahun, Mamdani tidak hanya menjadi Wali Kota termuda dalam sejarah New York, tetapi juga yang pertama sebagai seorang Muslim imigran.. Kemenangannya adalah pukulan telak bagi narasi Partai Republik, bahkan di tengah upaya mereka untuk merangkul keragaman. Kemenangan seorang progresif muda dan muslim di jantung Amerika itu memperkuat citra bahwa koalisi pemilih perkotaan yang terdiri dari kaum minoritas, muda, dan terdidik tetap menjadi benteng tak tergoyahkan bagi Demokrat.
Dominasi Demokrat di Medan Tempur Kunci: Virginia dan New Jersey
Gelombang biru tidak berhenti di New York. Di Virginia, sebuah negara bagian bellwether yang sering menjadi pertanda tren nasional, Abigail Spanberger dari Partai Demokrat berhasil merebut kursi gubernur. Dengan mengantongi 56,9% suara, ia mengalahkan petahana dari Republik, Winsome Earle-Sears. Kemenangan Spanberger, yang menjadikannya gubernur perempuan pertama dalam sejarah Virginia, menandai keberhasilan Demokrat merebut kembali wilayah yang semakin kompetitif ini. Kemenangan ini didorong oleh dukungan kuat pemilih suburban, khususnya perempuan, yang telah bergeser menjauhi Partai Republik dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, di New Jersey, Mikie Sherrill dari Demokrat unggul telak atas Jack Ciattarelli dari Republik dengan perolehan suara 56% berbanding 43,4%. Kemenangan ini semakin memperkuat cengkeraman Demokrat di negara bagian “taman” tersebut dan menunjukkan bahwa pesan partai itu masih resonan di kalangan pemilih pinggiran kota yang makmur.
Tak hanya di ranah eksekutif, dominasi Demokrat merambah ke bidang yudikatif. Di Virginia, kandidat Jaksa Agung dari Demokrat, Jay Jones, berhasil unggul dari petahana Republik, Jason Miyares, dengan perolehan suara 52,4%. Kemenangan ini memiliki implikasi jangka panjang, mengingat peran Jaksa Agung dalam menafsirkan dan menegakkan hukum di negara bagian tersebut.
Sebuah Badai Sempurna bagi Partai Republik
Rangkaian kekalahan para kandidat Partai Republik ini dapat dilihat sebagai sebuah “badai sempurna” yang menghantam Partai Republik. Faktor government shutdown menciptakan ketidakpastian dan kekecewaan yang meluas, di mana Partai Republik, sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab, harus menanggung beban kemarahan pemilih.
Di atas itu semua, faktor Donald Trump menjadi Biang Kerok utama Kekalahan. Gaya politiknya yang polarisasi,Otoriter,Rasis dan IslamoPhobia, alih-alih memobilisasi kemenangan,Trumph justru menjadi penggerak utama bagi basis pemilih Demokrat dan independen untuk datang ke bilik suara Memilih kandidat dari Demokrat. Kekalahan ini mempertanyakan masa depan “Trumpisme” dalam Partai Republik dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat tidak hanya menyaksikan kemenangan Partai Demokrat, tetapi juga mungkin menjadi saksi matahari terbenamnya sebuah era dalam politik Partai Republik. Pertanyaannya kini adalah: apakah partai Republik akan belajar dari kekalahannya, atau justru tenggelam lebih dalam dalam politik identitas yang telah membawanya pada kekalahan beruntun ini?