Oleh Dulwahab (jurnalis Sulawesi).
Zohran Mamdani: Melampaui Batas Agama dalam Politik Kemanusiaan (Komentar atas pandangan ust Syamsi Ali)
Dalam lanskap politik Amerika yang terfragmentasi, fenomena Zohran Mamdani menawarkan perspektif menarik tentang evolusi kesadaran politik yang melampaui identitas agama. Seandainya pun Mamdani mengaku sebagai kafir atau ateis, umat Islam di Amerika akan tetap memberikan dukungannya. Kenyataannya, basis pendukungnya memang didominasi non-Muslim, mengingat komunitas Muslim di New York yang minoritas dan secara ekonomi termasuk kelas menengah ke bawah. Dukungan ini bukanlah sebuah paradoks, melainkan konsekuensi logis dari komitmennya yang tak tergoyahkan dalam melawan ketidakadilan sosial yang dipertahankan oleh oligarki Amerika.
Politik identitas yang seringkali membatasi gerakan progresif justru ditransendensi oleh Mamdani melalui konsistensi perjuangannya. Dalam konteks Amerika Serikat yang kapitalis-liberal, di mana ketimpangan ekonomi telah mencapai tahap krisis, keberpihakan kepada kaum tertindas menjadi mata uang politik yang lebih berharga daripada identitas keagamaan. Muslim Amerika—yang secara politik kalah berpengaruh dibandingkan komunitas Yahudi, Kristen, dan kelompok imigran lainnya—menyadari bahwa pertarungan mereka adalah pertarungan kelas, pertarungan melawan sistem yang mengistimewakan segelintir elit.
Ironisnya, sementara Mamdani mendapatkan legitimasi dari konstituennya yang beragam di Amerika, sebagian orang Indonesia justru sibuk mempertanyakan madzhab Syiah-nya. Pola pikir seperti ini mengabaikan realitas sejarah dan sosiologis di Amerika Serikat, Demokrasi Amerika Memilih Pemimpin Negara Amerika,Bukan Memilih Khalifah Agama,bahkan Banyak di Indonesia orang Islam Sunni memilih Caleg atau calon kepala daerah dari agama yg berbeda.
Secara Historis Muslim Syiah di india-Gujarat telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam. Komunitas Muslim Syiah dari Gujarat-India telah berkontribusi besar dalam penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, termasuk di Arab Saudi sendiri—pusat Sunni—di mana provinsi-provinsi timur dihuni mayoritas Syiah yang hingga hari ini tetap merayakan peringatan Hari Asyura untuk Imam Husein AS,Pemerintah Arab Saudi tak pernah Melarangnya atau Memaksanya Menjadi Sunni.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: dalam dunia yang semakin kompleks, apakah madzhab masih relevan sebagai ukuran utama untuk menilai kebaikan atau keburukan seseorang? Sistem kapitalis global telah menciptakan ketidakadilan struktural yang membutuhkan solusi melampaui sekat-sekat primordial. Politik kemanusiaan yang diusung Mamdani justru lebih sejalan dengan semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin daripada politik identitas yang sempit.
Bayangkan seandainya figur seperti Mamdani mencalonkan diri dalam pilkada atau pilpres di Indonesia dengan semangat dan keberanian yang sama dalam membela kaum tertindas. Dengan track record membela rakyat kecil, ia akan tetap dipilih oleh masyarakat Indonesia yang telah lelah dengan politisi yang hanya mengandalkan simbol-simbol agama tanpa substansi perjuangan. Rakyat Indonesia—yang sehari-hari bergumul dengan mahalnya kebutuhan pokok, sulitnya akses kesehatan, dan ketiadaan keadilan—pada akhirnya akan memilih pemimpin yang mampu memahami dan memperjuangkan kepentingan mereka, terlepas dari latar belakang agamanya, apalagi sekedar perbedaan madzhab.
Kisah Zohran Mamdani mengajarkan kita bahwa di era ketidakpastian global ini, politik pembebasan harus didasarkan pada kesadaran humanis yang inklusif. Agama dan madzhab tetaplah penting, namun ketika dijadikan alat untuk mengabaikan ketidakadilan sosial, maka kita telah mengkhianati esensi kemanusiaan yang justru menjadi inti dari semua ajaran agama. Perjuangan melawan oligarki dan ketimpangan adalah jihad kontemporer yang membutuhkan persatuan melampaui sekat-sekat sektarian.
9 November,Kelurahan Puncur ,Gorontalo,Sulawesi.