Editorial:
Peta politik Indonesia pasca-2024 mulai memperlihatkan retakan-retakan ambisi yang mulai berhitung ulang. Kubu Jokowi, yang sebelumnya digambarkan begitu percaya diri membangun proyek dinasti politik melalui Gibran Rakabuming Raka, kini tampak sedang menghadapi kenyataan pahit. Masa depan elektoral Gibran, yang diharapkan melesat justru menunjukkan tren anjlok, sementara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai kendaraan politiknya tak kunjung menemukan momentum pertumbuhan yang signifikan. Dalam situasi seperti ini, wacana untuk kembali “menyelamatkan” Gibran dengan mempertahankannya di kursi wapres mendampingi Prabowo pada 2029 mengemuka. Namun, mimpi menjadikan Gibran sebagai presiden tampak semakin menjauh, terdistorsi oleh situasi zaman yang bergejolak dan dinamika elektoral yang tak lagi sederhana.
Pertanyaan adalah apakah kubu Prabowo masih memiliki kemauan dan kepentingan untuk melanjutkan kemitraan politik tersebut di 2029? Logika politik praktis menjawab:m, hampir tidak mungkin. Bagi Prabowo dan lingkaran dalamnya, pemilihan calon wakil presiden pada 2029 akan murni didasarkan pada kalkulasi elektoral yang dingin. Gibran, dengan segala kontroversi dan beban politik yang dibawanya, sudah tidak lagi menawarkan nilai tambah yang signifikan. Popularitasnya, yang sempat melambung karena efek Jokowi, terbukti tidak berkelanjutan. Dalam analisis pasar politik, “stok” Gibran sedang mengalami pelemahan fundamental.
Kini dihadapan Prabowo, tersaji banyak pilihan calon wapres yang jauh lebih potensial secara elektoral. Nama-nama seperti AHY ,Puan Maharani atau bahkan figur seperti Anies Baswedan, adalah komoditas politik yang nilai jualnya jauh lebih tinggi. Terutama Anies. Posisi keduanya di Pilpres 2024, dengan basis suara yang kuat dan besar, menunjukkan bahwa Anies masih menjadi pemain utama. Elektabilitasnya yang terjaga dan potensinya untuk terus naik menjadikannya aset berharga bagi pasangan mana pun.
Di sinilah analisis paling menarik muncul, sebuah pasangan Prabowo-Anies di 2029 bukanlah sekadar kemungkinan, melainkan sebuah skenario yang sangat masuk akal, bahkan bisa disebut sebagai “dream ticket” yang hampir tak terbendung. Pasangan ini akan menyatukan dua basis elektoral yang sangat besar dan beragam,basis negara yang dimiliki Prabowo (berkat dukungan birokrasi dan mesin partai koalisi) dengan basis pemilih perkotaan, kalangan muda progresif, dan konstituen Islam yang loyal kepada Anies. Dengan kombinasi seperti ini, Prabowo tidak perlu lagi bersusah payah berkampanye dengan intensitas tinggi di usia yang sudah sepuh (79 tahun pada 2029). Anies akan menjadi mesin penggerak kampanye yang energik, mampu menarik suara segmen pemilih yang mungkin masih ragu terhadap Prabowo.
Bagi kubu Jokowi, skenario ini adalah mimpi buruk. Bukan hanya berarti pintu kepresidenan bagi Gibran tertutup rapat, tetapi juga mengindikasikan bahwa proyek dinasti yang telah dibangun dengan susah payah gagal membaca arah angin perubahan. Kubu Prabowo, yang pragmatis, akan dengan mudah beralih ke mitra yang lebih menguntungkan.
Kesimpulannya, masa depan Gibran dalam percaturan politik nasional sedang di ujung tanduk. Keinginan kubu Jokowi untuk kembali “menitipkan” Gibran pada Prabowo di 2029 menghadapi tembok realitas yang keras. Sementara itu, kemungkinan Prabowo berpasangan dengan Anies bukanlah ilusi, melainkan sebuah kalkulasi rasional yang mematikan. Jika skenario itu terwujud, maka peta politik Indonesia akan memasuki babak baru,sebuah persekutuan raksasa yang akan sangat sulit ditandingi, sekaligus menjadi penanda akhir dari sebuah mimpi dinasti yang kandas sebelum waktunya.
Kemenangan Zohran Mamdani di Pemilihan Walikota New York Amerika Serikat Memberikan Pesan Bahwa Rakyat sedang Bergejolak,Angin Perubahan Makin kencang dan Besar.