Oleh: Dulwahab MN (Jurnalis Sulawesi).
Dalam lanskap politik global yang semakin terfragmentasi, kemunculan figur-figur politik baru yang menawarkan narasi segar menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Di Indonesia, Anies Baswedan hadir sebagai mantan akademisi yang berhasil merebut kursi kekuasaan strategis, sementara di Amerika Serikat, Zohran Mamdani muncul sebagai representasi generasi muda progresif. Meski secara permukaan tampak memiliki kemiripan sebagai “wajah baru” dalam politik, esensi perjalanan dan strategi politik keduanya justru memperlihatkan dialektika yang kompleks antara pragmatisme dan idealisme dalam berpolitik.
Persamaan: Wajah Politik Post-Ideological?
Pada tataran permukaan, kesamaan antara Anies dan Zohran memang tampak mencolok. Keduanya merupakan produk sistem pendidikan elit global,Anies dengan gelar doktor dari Northern Illinois University, Zohran sebagai lulusan Bowdoin College. Latar belakang ini menghadirkan gaya komunikasi yang artikulatif dan kemampuan membingkai isu kompleks menjadi narasi yang mudah dicerna publik.
Yang lebih penting, keduanya hadir sebagai antitesis dari politik tradisional. Anies, dengan gaya teknokrat-Akademik yang elegan, berhasil memposisikan diri sebagai alternatif dari politik oligarkhi yang telah mengakar. Sementara Zohran, dengan retorika progresifnya, menjadi suara penentang establishment Demokrat yang dianggap terlalu moderat. Keduanya sama-sama menarik simpati kalangan muda perkotaan yang mendambakan perubahan dalam sistem politik yang dianggap stagnan dan Jumud.
Perbedaan Fundamental: Pragmatisme versus Ideologi
Namun, di balik kemiripan permukaan tersebut, terdapat jurang perbedaan yang mendasar dalam strategi dan orientasi politik mereka. Anies Baswedan adalah politisi pragmatis,seorang ahli dalam seni membangun koalisi lintas spektrum. Dari nasionalis, Islamis, hingga teknokrat, semua menemukan tempat dalam payung politiknya. Fleksibilitas ideologis ini adalah senjata utamanya, kemampuan untuk berbicara tentang pembangunan inklusif di satu forum, sambil menyentuh chord keagamaan di forum lainnya.
Sebaliknya, Zohran Mamdani justru membangun kariernya pada kekuatan ideologi yang jelas dan tegas. Sebagai anggota Democratic Socialists of America, posisi politiknya tidak pernah ambigu,dari dukungan terhadap sewa kontrol (tenant rights), sistem kesehatan universal, hingga reformasi kepolisian. Berbeda dengan Anies yang bermain dalam sistem besar, Zohran memilih pendekatan grassroots organizing, membangun kekuatan dari bawah melalui mobilisasi isu-isu spesifik yang langsung menyentuh kehidupan konstituennya.
Strategi Kekuasaan: Jalan Tengah versus Jalan Perlawanan
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Anies mengadopsi pendekatan top-down klasik,masuk ke dalam sistem dan merebut posisi puncak. Dari Menteri Pendidikan ke Gubernur DKI Jakarta, lalu mencalonkan diri sebagai Presiden, langkahnya mengikuti pola karier politik konvensional, meski dengan kemasan yang segar.
Zohran, sebaliknya, memilih jalur bottom-up yang lebih radikal. Daripada berkompromi dengan mesin partai besar, ia bergabung dengan gerakan sosialis dan memenangkan kursi di level negara bagian,strategi yang mengutamakan konsistensi ideologis di atas perluasan basis dukungan yang cepat.
Dalam hal relasi dengan establishment, Anies menunjukkan kemampuan luar biasa untuk bermain di dalam sistem sambil menjaga citra sebagai agen perubahan. Dukungannya datang dari oligark media hingga partai Islam konservatif,sebuah kombinasi yang tampaknya paradoks tetapi justru memperlihatkan kelincahan politiknya. Sementara Zohran dengan tegas menolak logika establishment ini, membangun finansial dari sumbangan kecil konstituen daripada donatur korporat besar.
Kontribusi bagi Demokrasi: Dua Model Perubahan
Kedua model politik ini membawa kontribusi berbeda bagi perkembangan demokrasi. Anies menunjukkan bahwa dalam politik elektoral, fleksibilitas dan kemampuan membangun koalisi yang luas masih menjadi kunci kesuksesan. Namun, model ini rentan terhadap kritik sebagai oportunistik dan tidak memiliki prinsip yang jelas.
Di sisi lain, Zohran membuktikan bahwa politik ideologis masih mungkin bertahan di era modern. Meski basis dukungannya mungkin terbatas, konsistensinya membangun legitimasi yang kuat di kalangan pendukung setianya. Model ini menawarkan integritas politik, namun dengan risiko keterpinggiran dalam percaturan kekuasaan yang lebih luas.
Persamaan antara Anies Baswedan dan Zohran Mamdani pada akhirnya hanya sampai pada tataran permukaan,dua akademisi muda yang masuk politik dengan narasi pembaruan. Namun, esensi politik mereka justru merepresentasikan dua kutub berbeda dalam spektrum kekuasaan kontemporer.
Anies adalah master dalam seni kemungkinan politik,seorang pragmatis yang memahami bahwa kekuasaan diraih melalui koalisi dan kompromi. Sementara Zohran adalah penganut politik prinsip,seorang idealis yang percaya bahwa perubahan sejati hanya mungkin dicapai melalui konsistensi ideologis.
Dalam dialektika keduanya, kita melihat pertarungan abadi dalam politik, antara seni merebut kekuasaan dan seni mempertahankan integritas. Anies mungkin akan dikenang sebagai politisi yang sukses merebut takhta, sementara Zohran mungkin akan dikenang sebagai pembawa obor idealisme. Namun, sejarah akan mencatat bahwa kedua model ini sama-sama dibutuhkan dalam ekosistem demokrasi yang sehat,yang satu menjaga agar politik tetap realistis, yang lain menjaga agar politik tetap memiliki jiwa.
Anies lebih identik seperti Barack Obama di Amerika,Sedikit Berbeda Dengan Zohran Mamdani yang Cenderung Lebih Progresif,Mungkin Anies Perlu Diskusi dan Belajar kepada Zohran Mamdani yang Tegas dan Lugas dalam Melawan Donald Trumph beserta Oligarki Global di Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat.
Gorontalo-Sulawesi November 2025.