Opini: Dulwahab Mumu Nasaru.
Dalam peta kepahlawanan nasional Indonesia Provinsi Sulawesi Utara dengan bangga, mencatat sebelas nama dalam daftar Pahlawan Nasional saat ini. Sementara di sebelahnya, Provinsi Gorontalo, hanya mampu menunjukkan satu sosok saja yang telah menyandang gelar pahlawan Nasional. Bukan berarti medan perjuangan di Gorontalo lebih sempit, atau darah para pejuangnya lebih sedikir tumpah. Justru, sejarah mencatat gelora perjuangan kolosal yang membara di tanah “Serambi Madinah” ini.
Kesenyapan ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan cermin dari sebuah problem struktural,Monopoli dan dominasi kelompok tertentu dalam proses pengusulan Pahlawan Nasional, yang mengaburkan khazanah sejarah Limo Lo Pohalaa Gorontalo yang begitu kaya akan Sejarah.
Gorontalo, dengan falsafah Limo Lo Pohalaa (Lima Wilayah Kerajaan), adalah mosaik peradaban yang terdiri dari Gorontalo, Limboto,Hulontalangi, Suwawa, Boalemo, dan Atinggola. Setiap “pohalaa” ini memiliki narasi heroiknya sendiri, melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi pilar perlawanan terhadap kolonialisme dan ketertinggalan. Namun, dalam proses menuju pengakuan nasional, narasi-narasi yang plural ini seringkali tersaring oleh kepentingan politik dan kendali birokrasi yang terpusat. Akibatnya, banyak nama besar yang terpenjara dalam ingatan lokal, tak mampu menembus tembok birokrasi dan politik pencitraan untuk sampai ke meja tim pertimbangan di Jakarta.
Daftar yang diajukan oleh Redaksi Himpunan, meski tidak eksklusif, memberikan gambaran betapa kayanya potensi yang tertahan. Setiap nama mewakili era dan medan perjuangan yang berbeda, membentuk suatu kontinum sejarah yang utuh.
Raja Eyato dan Sultan Amay adalah simbol perlawanan awal terhadap hegemoni VOC dan kolonial Belanda. Mereka adalah pahlawan dari era kerajaan, yang memimpin perlawanan dengan kearifan lokalnya. Panipi, sang panglima perang , adalah bukti bahwa semangat Tiyo Lo Ta U Langgo (semangat juang pantang menyerah) juga mengalir deras di dada Pejuang Gorontalo ini. Perang Panipi merupakan kisah Kolosal melawan Penjajah Belanda,Kisahnya melampaui zamannya, menantang narasi arus besar mainstream.
Melompat ke masa pergerakan kemerdekaan, Syamsudin Biya (Sam Biya) muncul sebagai jenderal lapangan yang tangguh. Perannya dalam memimpin Perjuangan Intelektual dan mempertahankan Gagasan Indonesia seutuhnya yang adil di wilayah Sulawesi adalah sebuah episode penting yang masih ditutup rapat kisahnya. Sementara itu, di bidang kebudayaan, HB Jassin, sang “Paus Sastra Indonesia”, adalah duta intelektual Gorontalo yang memperjuangkan kemerdekaan berpikir melalui pena. Jasanya membentuk wajah sastra Indonesia modern adalah suatu bentuk perjuangan non-fisik yang tak kalah berharganya.
Memasuki era pembangunan, dua nama lain menyempurnakan ragam kepahlawanan ini. Thayib Muhammad Gobel adalah pionir industrialis nasional, seorang putra daerah yang membawa nama Indonesia di kancah teknologi elektronik dunia. Ia adalah pahlawan di medan ekonomi. Dan yang tak kalah gemilang, Profesor BJ Habibie, meski lebih dikenal sebagai putra Sulawesi selatan,namun memiliki ikatan darah dan sejarah yang dalam dengan Gorontalo. Pengakuan atasnya juga merupakan pengakuan atas kontribusi intelektual putra-putri terbaik daerah ini bagi bangsa.
Bapu Jupanggola,Seorang Wali Keramat,Tokoh Spiritual Keagamaan dan keilmuan di zaman klasik Gorontalo,Zaman Tua.
Bubohu,Kepala desa Tua di desa Bongo yang meninggalkan Tradisi Walimahan Maulid Nabi Muhammad Saw, Tradisi Walimahan ini hingga hari telah berumur ratusan Tahun dan masih dilaksanakan tiap tahunnya.Desa Bongo mendapat penghargaan sebagai salah satu desa wisata terbaik.
Lantas, mengapa semua tokoh besar ini masih teronggok dalam ruang tunggu sejarah? Akar masalahnya terletak pada proses pengusulan yang tidak inklusif. Mekanisme pengusulan yang berbelit dan sangat politis seringkali dikuasai oleh kelompok atau elit tertentu yang memiliki akses dan sumber daya. Mereka cenderung mendorong nama-nama yang sejalan dengan narasi kekuasaan mereka atau yang dianggap “aman” secara politik, sementara mengabaikan tokoh-tokoh dari wilayah atau trah lain dalam Limo Lo Pohalaa. Terjadi semacam “monopoli ingatan” yang justru mengingkari semangat kebinekaan yang menjadi dasar bangsa ini.
Oleh karena itu, perjuangan untuk mendobrak status quo ini harus dimulai dari dalam. Pemerintah Daerah, DPRD, akademisi, dan masyarakat sipil Gorontalo harus bersatu dalam sebuah front yang inklusif. Sebuah tim kajian sejarah yang independen dan representatif, yang melibatkan sejarawan dari berbagai latar belakang, perlu dibentuk untuk meneliti, mengverifikasi, dan menyusun naskah akademis yang kuat untuk setiap calon. Advokasi harus dilakukan secara sistematis, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga dengan membangun jejaring dan lobi di tingkat nasional.
Gorontalo tidak kekurangan pahlawan. Yang kurang adalah keberanian dan kemauan politik untuk mengangkat mereka ke pentas nasional. Mengakui Raja Eyato, Panipi, Sultan Amay, Sam Biya, HB Jassin, Thayib Gobel, dan Habibie sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar memenuhi kuota atau gengsi daerah. Ini adalah sebuah proyek kebangsaan untuk menyempurnakan sejarah Indonesia itu sendiri—sebuah sejarah yang harus ditulis dengan tinta dari semua sudut Nusantara, termasuk dari jantung Teluk Tomini. Saatnya benang kusut ini diurai, agar setiap pahlawan dari bumi Limo Lo Pohalaa mendapat tahta yang selayaknya dalam memori kolektif bangsa.
berikut adalah Beberapa Tokoh Calon Pahlawan Nasional dari Gorontalo Yang layak diusulkan menurut Kajian Redaksi Himpunan.
1. Raja Eyato
2. Panipi
3. Sultan Amay
4 .Syamsudin Biya (Sam Biya)
5. HB Jassin
6. Thayib Muhammad Gobel
7. Profesor Bj Habibie
8. Jupanggola
9. Bubohu