
Editorial:
Panipi: Monumen Bisu yang Menantang Hegemoni Sejarah Gorontalo.
Di lereng Bukit Panipi (Batudaa) ada sebuah keheningan yang berbicara lebih lantang daripada buku-buku teks sejarah di kampus-kampus Gorontalo. Keheningan itu menyimpan gema sebuah perang kolosal di bumi Gorontalo,sebuah episode heroik yang dicatat sendiri oleh musuhnya, Belanda,
namun sejarah ini dipinggirkan dalam narasi resmi di Goriontalo saat ini. Perjuangan Rakyat Panipi dalam perang besar di sekitar tahun 1872- 1874) adalah sebuah mozaik utama dalam kanvas sejarah Indonesia-Gorontalo. Namun, mozaik ini dibiarkan tertutup debu, seolah-olah ada ketakutan kolektif untuk membingkainya dan menempatkannya pada pusat sejarah Gorontalo.
Fakta bahwa kolonial Belanda saat itu dengan cermat mendokumentasikan perlawanan ini justru menjadi bukti betapa signifikannya ancaman yang mereka hadapi. Ini bukan kerusuhan kecil, melainkan perang besar yang menguras sumber daya dan menuntut strategi besar.
Sejarah Panipi adalah monumental karena menunjukkan titik di mana semangat atali (harga diri) Gorontalo menghadapi tembok besi kolonialisme dengan segala keberaniannya. Dalam logika mana pun, perang yang diakui oleh lawannya sebagai perang kolosal seharusnya menjadi fondasi utama patriotisme sebuah daerah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Di sinilah letak paradoks yang memilukan. Sementara pemerintah daerah dan institusi akademik seolah enggan menjadikan Panipi sebagai narasi sentral, namun masyarakat di wilayah Panipi justru dengan gigih menjaganya sebagai api yang tak pernah padam. Dari generasi ke generasi, melalui tutur lisan di sekitar perapian atau dalam obrolan ringan, kisah kepahlawanan nenek moyang mereka terus diwariskan. Ini adalah bentuk preservasi sejarah yang paling organik dan autentik—sebuah sejarah “dari bawah” yang bertahan melawan lupa yang terstruktur. Fakta bahwa ingatan kolektif ini bertahan tanpa dukungan negara atau akademisi justru membuktikan kekuatan emosional dan signifikansi kultural yang dimilikinya.
Lantas, ada apa dengan akademisi dan pemerintah2 daerah di Gorontalo? Mengapa mereka takut membahas warisan sejarah sebesar ini?
terdapat semacam monopoli narasi sejarah di Gorontalo. Seringkali, wacana sejarah terfokus pada aspek-aspek tertentu seperti budaya Adati dan Islam, atau pada tokoh-tokoh yang lebih “aman” secara politik. Panipi, dengan skala kolosalnya mungkin mengganggu keseimbangan wacana ini. Ia menawarkan narasi alternatif yang begitu besar sehingga dapat menggeser pusat gravitasi sejarah Gorontalo. Bagi mereka yang nyaman dengan status quo, narasi semacam ini adalah ancaman. Lebih mudah untuk membiarkannya terkubur daripada harus merevisi seluruh kerangka sejarah yang telah mapan.
terdapat kelemahan struktural dalam dunia akademik itu sendiri. Meneliti Panipi secara kritis membutuhkan kerja keras: menggali arsip kolonial, melakukan wawancara mendalam, dan menantang narasi-narasi yang sudah mapan. Dalam sistem yang lebih mementingkan kuantitas publikasi daripada dampak kritis, proyek penelitian yang menantang dan “berisiko” seperti Panipi seringkali dihindari. Lebih mudah meneliti topik-topik yang sudah memiliki literatur melimpah dan tidak menyimpan potensi kontroversi.
Oleh karena itu, tuntutan untuk menjadikan Panipi sebagai ikon utama sejarah patriotisme Gorontalo bukan sekadar soal menambahkan satu bab dalam buku sejarah. Ini adalah proyek dekolonisasi pengetahuan. Ini adalah upaya merebut kembali hak untuk mendefinisikan diri sendiri, dengan menggunakan bukti dari musuh sendiri—catatan Belanda—sebagai senjata utama. Sejarah Gorontalo terlalu kaya untuk dimonopoli oleh satu narasi saja. Ia membutuhkan multi-narasi, di mana kisah kerajaan-kerajaan, perjuangan kolosal seperti Panipi, dan dinamika kultural lainnya saling melengkapi.
sunyinya kampus-kampus dan pemerintah2 daerah membicarakan Panipi adalah sebuah bentuk status quo intelektual terhadap warisan terbesar bumi Gorontalo. Keberanian Rakyat Panipi yang diwariskan secara turun-temurun justru menjadi cermin yang mempermalukan keheningan para intelektual dan politisi Gorontalo.
Saatnya kita membongkar konspirasi sunyi ini. Saatnya para akademisi muda, jurnalis, dan masyarakat sipil Gorontalo memaksa Panipi keluar dari bayang-bayang dan menempatkannya di panggung utama sejarah Gorontalo. Jika tidak, kita bukan hanya melupakan sebuah perang, tetapi kita mengubur nyali dan jiwa kritis yang seharusnya menjadi warisan abadi dari para pejuang di Bukit Panipi untuk generasi Gorontalo masa kini dan mendatang, Tanpa Sejarah Panipi,Gorontalo tak akan menjadi Kolosal dan Spesial.
Sejarah Pemberontakan atau Perang Panipi tetap merupakan bukti nyata dari keberanian dan jiwa merdeka Orang Gorontalo yang tidak mau ditindas oleh siapapun, dan berpotensi untuk diangkat kembali sebagai salah satu pilar penting dalam khazanah sejarah patriotik daerah dan Indonesia.sejarah Perang Rakyat Panipi sama Persis dengan Sejarah Perang Diponegoro ditanah Jawa dan perang Aceh Cut nyak Dien,tahunnya pun disekitar tahun yang sama,disekitar tahun 1800 an. Dalam Catatan kolonial Belanda di Gorontalo,Hanya Perang Panipi yang Kolosal dan Besar,Membuat energi dan sumberdaya Belanda di Gorontalo Terkuras.