
Editorial:
Menggugat Tabir yang Terkubur: Syamsudin “Sam” Biya,Sejarah yang Dihapus dari Kisah Perjuangan Gorontalo.
Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Namun, apa jadinya jika nama seorang pejuang justru sengaja dihapus dari catatan sejarahnya? Kisah Syamsudin Biya, atau yang lebih dikenal sebagai Sam Biya, dari Gorontalo adalah sebuah luka yang terbuka, sebuah aib historiografi yang menuntut untuk dikoreksi dengan pendekatan kritis. Ia adalah simbol dari bagaimana narasi sejarah nasional seringkali bukanlah hasil rekonstruksi fakta yang jernih, melainkan produk dari pertarungan kekuasaan dan ideologi yang tak segan menghabisi rivalnya, bahkan dari dalam liang kubur.
Sam Biya: Intelektual, Bangsawan, dan Tulang Punggung Perjuangan Lokal
Sebelum membongkar konspirasi penghapusannya, penting untuk menegaskan kembali siapa Sam Biya. Ia bukanlah pejuang biasa. Sam Biya adalah seorang intelektual yang lahir dari rahim bangsawan Gorontalo. Marga Biya, yang tercatat dalam silsilah keluarga kerajaan, bukan sekadar gelar kosong. Dalam struktur sosial Gorontalo yang menghormati hierarki dan tradisi, statusnya sebagai keturunan raja memberikannya legitimasi dan pengaruh yang massif. Ini adalah modal sosial-politik yang sangat kuat, yang menjelaskan mengapa ia mampu menggerakkan dan memimpin rakyat Gorontalo,Sangat Wajar,Sam Biya diangkat Menjadi Walikota Pertama di Gorontalo saat itu.
Pergulatannya dalam kancah pergerakan nasional tidak dilakukan dalam ruang hampa. Sam Biya memilih jalur politik yang jelas dan terang-benderang,Partai Masyumi adalah jalan Politiknya, Pada Pemilu tahun 1955, Partai Masyumi membuktikan diri sebagai kekuatan politik utama, dengan perolehan suara yang hampir setara dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno sendiri. Jumlah Kursi di DPR Partai Masyumi Sama Jumlah dengan Partai PNI,Ini membuktikan bahwa Masyumi dengan platform Islam modernisnya, bukanlah kekuatan marginal, melainkan arus Besar utama yang diperhitungkan saat itu.
Sam Biya, sebagai tokoh Partai Masyumi di Gorontalo adalah representasi dari kekuatan ini di tingkat lokal. Perjuangannya adalah perpaduan antara semangat keislaman, nasionalisme, dan kearifan lokal Gorontalo.
Namun Sayangnya,Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Rezim orde lama saat itu,dianggap Sebagai Inisiator dan Pendukung Utama PRRI/PERMESTA. HMI Juga Hampir saja dibubarkan saat itu karna dianggap bagian dari Masyumi.
Rezim Otoriter dan Bau Komunis Manipulasi Sejarah,Sebuah Gugatan Kritis
Klaim bahwa kisah Sam Biya sengaja disembunyikan dan dimanipulasi bukanlah sebuah teori konspirasi tanpa dasar, melainkan sebuah kesimpulan logis dari analisis konteks politik Indonesia pasca-kemerdekaan, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin.
Pertama, konstelasi kekuatan politik nasional sedang tidak berpihak pada kelompoknya Sam Biya saat itu. Presiden Sukarno, yang awalnya berdiri di atas koalisi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), secara gradual mulai condong dan akhirnya dikepung oleh kekuatan militer sayap kanan dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam situasi ini, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan M Natsir, Sjahrir dan Sumitro Joyohadikusumo dianggap sebagai oposisi yang membahayakan. Kedua partai ini, yang dianggap terlalu “barat dan Islamis”,Mensponsori PRRI/PERMESTA dan kritis terhadap Rezim saat itu, akhirnya dibubarkan secara paksa pada tahun 1960.
Pembubaran ini bukan sekadar tindakan administratif. Ini adalah sebuah political assassination (Pembunuhan Karakter) terhadap lawan-lawan politik. Dalam narasi resmi Orde Lama yang didominasi PNI dan didukung PKI, Partai Masyumi dan PSI dilabeli sebagai “kontra-revolusioner,” “agen imperialis,serta Pemberontak” dan berbagai stigma negatif lainnya. Sebagai tokoh Masyumi yang berpengaruh, nama Sam Biya otomatis masuk dalam daftar “hitam” ini. Mengabadikan namanya dalam sejarah berarti mengakui kontribusi kelompok yang sedang dimusuhi oleh rezim. Itu adalah hal yang mustahil.
Kedua, peran PKI dan provokator Bersenjata dalam mendiskreditkan kekuatan Islam dan sosialis-demokrat sangat sentral. PKI, yang bercita-cita menjadi satu-satunya kekuatan revolusioner, memiliki kepentingan untuk menghapus rival ideologisnya. Narasi sejarah yang mereka inginkan adalah narasi yang memusat, di mana peran kelompok selain NASAKOM (terutama yang anti-komunis seperti Masyumi dan PSI dikecilkan atau dihilangkan. Sam Biya, dengan basis massa Islam dan tradisional yang kuat di Gorontalo, adalah ancaman nyata bagi pengaruh PKI di wilayah tersebut. Menghapusnya dari sejarah adalah cara untuk memutus mata rantai pengaruh ideologisnya.
Ketika kita menyebut “Rezim Fasis” dalam konteks ini, kita merujuk pada sebuah sistem kekuasaan yang otoriter, yang menggunakan Senjata dan segala cara—termasuk manipulasi sejarah—untuk melanggengkan kekuasaan dan menyingkirkan oposisi. Demokrasi Terpimpin Sukarno, dengan Dekrit Presiden 1959-nya, telah membuka jalan bagi fasisme semacam ini. Dalam kondisi “bius” politik, seperti yang digambarkan, di mana Sukarno mungkin terjebak dalam permainan kekuatan yang lebih besar, kebenaran seringkali menjadi korban pertama.
Hilangnya Nama Sam Biya: Sebuah Aib Nasional-Gorontalo.
Hilangnya nama Sam Biya dari buku-buku pelajaran dan memori kolektif Gorontalo dan nasional tentang perjuangan Kemerdekaan di Gorontalo bukanlah kelalaian biasa. Ini adalah sebuah dosa historis. Indonesia dan Gorontalo, yang mengaku menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan, ternyata menyimpan sejarah yang pincang. Bagaimana kita bisa berbicara tentang menghargai pahlawan jika kita membiarkan nama seorang pejuang, hanya karena perbedaan ideologi politik, dikubur dalam-dalam?
Pengakuan terhadap Sam Biya adalah sebuah keharusan moral dan intelektual. Ini adalah upaya untuk merebut kembali sejarah kita dari tangan-tangan yang memanipulasinya. Ini adalah pembongkaran terhadap narasi tunggal yang selama ini di diktekan oleh pemenang dalam pertarungan politik.
Syamsudin Biya (Sam Biya) adalah pahlawan dan Pejuang Gorontalo. Pengabdiannya pada bangsa dan tanah air tidak boleh dikubur hanya karena ia berseberangan dengan rezim yang berkuasa saat itu. Mengembalikan namanya dalam panggung sejarah Indonesia dan Gorontalo adalah langkah untuk menyembuhkan luka dan memperbaiki cacat moral bangsa ini. Sejarah harus ditulis dengan jujur, atau ia bukanlah sejarah sama sekali, melainkan hanya propaganda yang menunggu untuk digugat.
Menurut Keluarga Sam Biya,Jasad Sam Biya tidak Pernah ditemukan Hingga Hari ini, saat itu Beliau dijemput Paksa Oleh aparat Rezim saat itu dan sekelompok Orang Bersenjata dari Pusat yang Terafiliasi dengan PKI, lalu Sam Biya hilang kabar hingga hari ini.
Arwah Pejuang dan Pemberani serta Istiqomah seperti Syamsudin Biya tak akan pernah Mati ,dia tetap Hidup dalam Hati Rakyat Gorontalo,dalam Generasi Islam Gorontalo dan Indonesia.
Alkisah,Setelah Masyumi dan PSI dibubarkan Sukarno,beberapa tahun kemudian Presiden Sukarno Lengser dan Dewan Jendral Terbunuh oleh Anggota PKI Pada Peristiwa 1965. Sukarno Tanpa sadar Telah Membuang Sahabat2 Sejatinya,PartaiMasyumi dan Partai Sosialis Indonesia.