
Editorial:
Provinsi Gorontalo, yang dijuluki “Serambi Madinah”, menyimpan potensi alam dan budaya yang begitu kaya. Namun, ironisnya, hingga saat ini Gorontalo masih tercatat sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik terus menempatkan Gorontalo dalam peringkat bawah secara nasional dalam hal Indeks Pembangunan Manusia dan pendapatan per kapita. Realitas ini bagai bayang-bayang suram yang mengancam masa depan generasi muda Gorontalo. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut dengan pendekatan yang sama, Gorontalo hanya akan terus tertinggal. Untuk keluar dari lembah kemiskinan ini, dibutuhkan sebuah lompatan besar—bukan hanya sekadar pembangunan fisik, melainkan sebuah revolusi mentalitas dan pola pikir dari seluruh elemen, mulai dari rakyat, para pejabat, hingga elit politik.
Akar masalah kemiskinan Gorontalo tidak semata-mata terletak pada kurangnya sumber daya. Gorontalo memiliki hasil pertanian, perikanan, Pertambangan dan pariwisata yang melimpah. Persoalan mendasarnya justru terletak pada cara berpikir yang masih terjebak dalam paradigma lama. Pertama, mentalitas instant dan ketergantungan yang tinggi pada anggaran pusat (Dana Alokasi Umum) telah mematikan daya inovasi dan kemandirian. Ekonomi bergerak sebatas pada siklus proyek pemerintah, bukan pada kekuatan industri dan wirausaha yang berkelanjutan. Kedua, di level birokrasi dan politik, pragmatisme seringkali mengalahkan visi pembangunan jangka panjang. Kebijakan cenderung reaktif, tambal sulam, dan terfragmentasi, tanpa sebuah grand design yang jelas dan berani untuk membawa Gorontalo melompat maju.
Jika hanya mengandalkan cara-cara standar atau business as usual, mustahil Gorontalo dapat bangkit. Membangun jalan, menyekolahkan anak, dan memberikan bantuan sosial adalah hal yang perlu, tetapi itu tidak cukup untuk membuat sebuah provinsi beranjak dari kategori miskin. Pendekatan biasa hanya akan menghasilkan pertumbuhan yang linear, sementara provinsi lain sudah berlari dengan pertumbuhan eksponensial. Butuh cara yang revolusioner dan extra ordinary untuk memutus mata rantai kemiskinan ini.
Lantas, seperti wujud konkret dari cara yang revolusioner tersebut?
Pertama, Revolusi di Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan. Gorontalo harus berani mendeklarasikan diri sebagai “Provinsi Berbirokrasi Ringkas”. Ini berarti memangkas habis prosedur perizinan yang berbelit, menerapkan sistem digitalisasi penuh untuk semua pelayanan publik, dan menciptakan insentif super ketat bagi investor. Pejabat harus berpindah dari mentalitas “penguasa” menjadi “pelayan dan pemacu pembangunan”. Sebuah task force khusus yang terdiri dari orang-orang terbaik, baik dari dalam maupun luar Gorontalo, dengan kewenangan penuh untuk memutus hambatan investasi, harus dibentuk.
Kedua, Melakukan “Technological Leapfrogging” atau Pelompatan Teknologi. Daripada mengejar ketertinggalan secara perlahan, Gorontalo harus langsung melompat ke teknologi terdepan. Di sektor pertanian dan perikanan, penerapan smart farming dan aquaculture technology dapat melipatgandakan produktivitas dan nilai tambah. Gorontalo berpotensi menjadi lumbung pangan organik dan hub ekspor hasil laut bernilai tinggi, bukan sekadar menjual bahan mentah. Infrastruktur internet berkecepatan tinggi harus dianggap sebagai utilitas dasar, seperti listrik dan air, yang dijangkau secara merata hingga ke desa-desa.
Ketiga, Membangun Keberanian Mental Wirausaha. Masyarakat Gorontalo perlu didorong untuk menjadi pencipta lapangan kerja, bukan hanya pencari kerja. Pemerintah dapat meluncurkan program “Gerakan 1.000 Startup Lokal” atau “Modal Ventura untuk Pemuda Kreatif”, yang memberikan pendanaan, pelatihan intensif, dan pendampingan bagi ide-ide bisnis baru yang berbasis potensi lokal. Mentalitas sebagai “tuan rumah di negeri sendiri” harus ditanamkan, di mana pemuda Gorontalo percaya diri untuk membangun bisnis pariwisata, kuliner, dan ekonomi kreatif yang bersaing di tingkat nasional.
Keempat, Elit Politik Harus Berani Berkolaborasi, Bukan Berkompetisi. Seringkali, percepatan pembangunan terhambat oleh konflik dan ego sektoral di antara elit politik. Mereka harus memiliki kesadaran kolektif bahwa kemiskinan Gorontalo adalah musuh bersama yang jauh lebih berbahaya daripada perbedaan kepentingan politik. Sebuah roundtable atau forum tetap yang mempertemukan semua tokoh dari berbagai spektrum untuk menyusun peta jalan pembangunan Gorontalo 20-30 tahun ke depan adalah sebuah keharusan.
masa suram Gorontalo bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Ia adalah konsekuensi dari cara berpikir dan bertindak yang biasa-biasa saja. Saatnya Gorontalo bangkit dengan sebuah lompatan mental. Sebuah pergeseran dari mentalitas ketergantungan menuju kemandirian, dari birokrasi yang lamban menuju pelayanan yang gesit, dan dari menjual bahan mentah menuju mencipta nilai tambah. Hanya dengan keberanian untuk berpikir dan bertindak secara revolusioner dan extra ordinary, “Serambi Madinah” ini dapat benar-benar bangkit menjadi provinsi yang makmur, sejahtera, dan bermartabat, menjadi warisan terindah bagi generasi Gorontalo mendatang.