GORR yang Kumuh dan Pesan Sang Gubernur: Jalan Tol Bukanlah TPA
Di sebuah penanaman pohon di Desa Pilohayanga Barat, Kamis (2/10/2025), Gubernur Gusnar Ismail tidak hanya berbicara tentang akar yang menahan tanah. Ia juga berbicara tentang sebuah “akar” persoalan yang mengotori wajah provinsinya: tumpukan sampah yang menggunung di bahu Gorontalo Outer Ring Road (GORR). Perhatiannya yang serius terhadap masalah ini bukan sekadar instruksi administratif, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang citra dan martabat bersama.
Gusnar memotret sebuah paradoks yang memilikan. Sebagian masyarakat, menurutnya, merasa berhak membuang sampah di situ dengan logika yang terlihat pragmatis: lokasinya dekat Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), dan sampah itu nantinya “pasti akan dipungut.” Namun, sang Gubernur melihat melampaui logika sederhana ini. “Pemikiran itu tidak salah, tapi harus dikoordinasikan,” ujarnya dengan nada yang bijak, bukan menghakimi. Kalimat ini menunjukkan pemahamannya bahwa kesadaran, bukan sekadar paksaan, yang perlu dibangun.
Yang menarik adalah pendekatannya yang humanis. “Saya tidak perlu marah-marah,” katanya, menegaskan bahwa peran pemimpin di matanya adalah “memberikan solusi.” Ini adalah filosofi kepemimpinan yang langka di tengah gemuruh politik yang kerap diwarnai amarah. Bagi Gusnar, setiap persoalan, bahkan sampah yang tercecer, pasti ada solusinya, dan tugasnya adalah menggali solusi itu bersama masyarakat.
Namun, di balik sikapnya yang kalem, terselip sebuah peringatan yang tajam tentang realitas persepsi. GORR, sebagai gerbang utama Gorontalo, adalah kartu nama. “Kalau GORR ini kondisinya kotor, maka orang berkesimpulan berarti di tempat lain juga seperti itu,” tuturnya. Dan kesimpulan itu, dengan segera, berujung pada tuduhan: “gubernur tidak bekerja, bupati membiarkan, camat tidak memperhatikan, kepala desa tidak awas.”
Di sinilah letak esensi pidatonya. Sampah di bahu jalan bukan lagi sekadar persoalan estetika atau lingkungan belaka. Ia telah bertransformasi menjadi barometer kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Sebuah puntung rokok atau kantong plastik yang terbuang sembarangan, dalam sekejap, bisa menjadi dalih untuk menyimpulkan kegagalan seluruh struktur kepemimpinan dari tingkat desa hingga provinsi.
Oleh karena itu, imbauan Gusnar untuk berhenti membuang sampah sembarangan adalah sebuah seruan untuk memutus mata rantai stigma itu. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melihat GORR bukan sebagai jalan tol menuju TPA, melainkan sebagai cermin kolektif yang memantulkan harga diri dan etos kerja seluruh warga Gorontalo. Membersihkan GORR, pada hakikatnya, adalah membersihkan nama baik mereka sendiri di mata dunia yang lalu-lalang.