Di sebuah sudut Kabupaten Boalemo, tepatnya di Desa Hungayonaa, Rabu (10/9/2025) lalu, ada sebongkah harapan yang terwujud dalam butiran-butiran beras. Bukan sekadar komoditas, beras yang diserahkan langsung oleh Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail dan Wakil Gubernur Idah Syahidah itu adalah sebuah penanda; sebuah bukti bahwa dalam arus ekonomi yang kerap tak bersahabat, suara dari daerah masih didengar.
Sebanyak 385 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari 11 desa di Kecamatan Tilamuta menjadi saksi. Bantuan Beras Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) ini hadir bukan karena sebuah program yang berjalan otomatis, melainkan karena adanya sebuah permintaan. Seperti diungkapkan Gubernur Gusnar, “Bantuan beras CPP daerah bisa berada di sini karena adanya permintaan dari Bupati dan Wakil Bupati Boalemo.” Pernyataan sederhana ini mengandung makna sosial yang dalam: ini adalah tentang responsivitas. Ini adalah tentang pemerintah yang bergerak karena ada panggilan dari bawah.
Namun, bantuan ini bukanlah sebuah tindakan yang terisolasi. Ia adalah satu batu bata dalam sebuah bangunan strategi yang lebih besar. Gubernur Gusnar dengan jelas menempatkannya dalam konteks yang lebih luas: ketika harga beras melonjak, pemerintah provinsi tidak tinggal diam. Sebelumnya, telah disalurkan bantuan beras Bulog untuk 116 ribu KPM. Kehadiran bantuan CPP ini adalah lapisan pengaman sosial berikutnya, menyasar mereka yang “belum terakomodir bantuan sebelumnya.” Ini menunjukkan sebuah kesadaran bahwa kerentanan pangan memiliki banyak wajah, dan jaring pengaman harus dijalin dengan rapat untuk menjangkau mereka yang paling tersembunyi di sudut-sudut wilayah.
Secara total, 6,7 ton beras akan mengalir untuk 670 KPM di Boalemo. Dalam hitungan ekonomi, angka ini mungkin terlihat kecil. Namun, dalam lanskap sosial, dampaknya bersifat personal dan mendalam. Setiap karung beras yang sampai berarti sebuah keluarga tidak perlu memangkas uang belanja untuk kebutuhan lain yang tak kalah pentingnya, seperti pendidikan atau kesehatan. Ia adalah penjaga martabat di tengah tekanan hidup.
Penutup Gubernur Gusnar, “Bantuan ini harus disyukuri, dengan rasa syukur itu pintu-pintu rezeki lain bisa terbuka,” mungkin terdengar spiritual. Namun, dalam konteks sosial, rasa syukur itu bisa dimaknai sebagai modal sosial. Ketika kecemasan akan pangan sedikit teredam, energi masyarakat dapat dialihkan untuk membuka “pintu rezeki” lainnya—untuk berusaha, untuk berkarya, dan untuk kembali memiliki tenaga serta semangat membangun kehidupan yang lebih layak.
Pada akhirnya, hari itu di Tilamuta bercerita tentang lebih dari sekadar distribusi logistik. Ia adalah sebuah narasi tentang tata kelola pemerintahan yang mendengar, sebuah strategi ketahanan pangan yang berlapis, dan yang terpenting, sebuah pengingat bahwa di balik angka-angka statistik, yang paling hakiki adalah ketahanan sebuah keluarga untuk tetap bertahan dan bangkit.